Indonesia Dinilai Sudah Saatnya Miliki Bursa Berjangka CPO
Pembentukan tata niaga sawit, setidaknya harus mencakup empat aspek, antara lain aspek keadilan, efisiensi, nilai tambah, dan keberlanjutan.
Penulis: Hendra Gunawan
Editor: Seno Tri Sulistiyono
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Sebagai negara penghasil minyak sawit atau crude palm oli (CPO) terbesar di dunia, Indonesia sudah seharusnya memiliki harga acuan sendiri.
Direktur Pemasaran Holding Perkebunan Nusantara PTPN III (Persero), Dwi Sutoro mengatakan, sudah saatnya Indonesia membentuk bursa berjangka dalam negeri sebagai harga acuan seperti yang dicanangkan Kementerian Perdagangan.
“Karena menggunakan CPO international price sebagai acuan harga CPO domestik, sering tidak membuat keseimbangan penawaran dan permintaan di dalam negeri, sehingga mengakibatkan ketidakstabilan harga CPO dalam negeri,” papar Dwi Sutoro, saat menjadi pembicara dalam seminar bertajuk Strategi Indonesia Menjadi Barometer Harga Sawit Dunia di Jakarta, Kamis (2/2/2023).
Baca juga: Harga CPO, Kedelai dan Jagung Masih Naik, Menkeu Sri Mulyani: Harga Gas Menurun Tajam
Menurut Dwi, bursa CPO yang ideal adalah bursa yang memiliki fungsi lengkap, yakni sebagai price discovery, price reference, dan hedging, dari sebuah proses yang fair, efisien, transparan, dan terpercaya.
"Tentunya, ide membangun tata niaga komoditi CPO Indonesia melalui pengembangan bursa CPO Indonesia ini harus kita dukung dan diskusikan sebagai tahapan untuk membuat Indonesia menjadi barometer sawit dunia,” ujarnya.
Lebih lanjut Dwi menyampaikan, bahwa pembentukan tata niaga sawit, setidaknya harus mencakup empat aspek, antara lain aspek keadilan, efisiensi, nilai tambah, dan keberlanjutan.
“Keterlibatan pemerintah, BUMN, dan swasta, diharapkan bisa menciptakan sinergi yang positif dalam mendesain tata niaga sawit Indonesia yang adil, efisien, transparan, dan terpercaya,” ungkapnya.
Sementara itu, Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Agribisnis Kemenko Perekonomian, Musdalifah Mahmud, menyampaikan, bahwa mewujudkan Indonesia sebagai barometer harga sawit dunia bukan sebatas cita-cita lagi.
“Tetapi insyaallah akan segera tercapai,” ujarnya.
Saat ini, kata Musdalifah, Indonesia merupakan negara yang berkontribusi sebesar 55 persen terhadap minyak sawit dunia dan 42 persen minyak nabati dunia.
"Indonesia bisa segera menjadi barometer harga sawit dunia. Dengan adanya konsistensi penerapan B35, stabilitas harga sawit juga semakin terjaga,” ujarnya.