Banyak Bank Global Bangkrut dan Gagal Bayar Surat Utang, Indonesia Diminta Waspada
Bank Sentral Eropa atau ECB juga masih menaikkan suku bunga acuan dan berdampak terhadap kecemasan investor terkait tekanan sektor perbankan.
Penulis: Yanuar R Yovanda
Editor: Seno Tri Sulistiyono
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ekonom sekaligus Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan, kekhawatiran skenario gagal bayar bukan cuma terjadi pada Silicon Valley Bank (SVB) dan Credit Suisse tapi merembet ke bank global lainnya.
Sebab, Credit Default Swap (CDS) yang dijadikan sebagai indikator, bahwa gagal bayar surat utang Deutsche Bank mungkin naik.
"Investor panik dan lakukan sell-off saham DB. Hampir semua kasus dimulai dari masalah kenaikan suku bunga yang agresif dan terjadinya resesi di Amerika Serikat (AS) atau Eropa," ujarnya melalui pesan singkat kepada Tribun, Minggu (26/3/2023).
Selain itu, Bank Sentral Eropa atau ECB juga masih menaikkan suku bunga acuan dan berdampak terhadap kecemasan investor terkait tekanan sektor perbankan.
Baca juga: Industri Perbankan Diprediksi Menghadapi Berbagai Risiko Perubahan Hingga 2030
Perbedaannya, lanjut Bhima, produk keuangan termasuk derivatif Deutsche Bank lebih kompleks dibanding Silicon Valley Bank.
"Konektivitas dengan perbankan di berbagai negara juga lebih besar Deutsche Bank," katanya.
Hal inilah yang mengakibatkan risiko sistemik Deutsche Bank terhadap perbankan terutama di Asia cukup signifikan.
"Kalau Deutsche Bank bermasalah dan sampai gagal bayar, mungkin kita akan menghadapi krisis separah 2008 atau 2013," tutur dia.
Kendati demikian, menurut Bhima, sejauh ini masih terlalu dini menyimpulkan Deutsche Bank akan kolaps karena ada Bank Sentral Eropa yang mungkin lakukan penyelamatan.
Pelaku pasar dinilainya masih terus melihat bagaimana respon dari bank sentral Eropa dalam upaya meningkatkan kepercayaan investor dan deposan Deutsche Bank.
Dia menambahkan, penurunan saham Deutsche Bank dan peningkatan CDS ini harus masuk dalam radar monitor otoritas keuangan Indonesia.
"Bank sekelas Deutsche Bank bisa ciptakan tekanan likuiditas yang signifikan. Meskipun kecukupan modal perbankan Indonesia relatif gemuk, ditambah dengan pertumbuhan DPK yang positif hingga NPL yang cenderung terkendali, tetap perlu kewaspadaan," pungkas Bhima.
Sementara itu Pengamat dan Praktisi Sustainable Finance Rizky Wisnoentoro mengatakan, secara umum selama dua dekade ke depan industri perbankan akan diwarnai dengan perubahan cukup signifikan.
Akan terjadi anomali, di mana hal-hal yang dulu menjadi kebiasaan sebelum pandemi Covid-19 akan berubah setelah pandemi selesai.
"Meskipun kondisi seolah kembali seperti dulu, tapi sejatinya tidak akan pernah sama lagi. Sedangkan di sisi lain, masa akan datang penuh dengan potensi peluang dan
risiko yang relatif baru dan mungkin saja belum pernah tersentuh sebelumnya," ujarnya.
Menurutnya di beberapa aspek, volatilitas maupun ketidakpastian dapat terjadi dengan cukup intens hingga 2030, termasuk kondisi perbankan global yang mulai acak-acakan alias semrawut.
"Khusus dalam tahun-tahun pertama setelah pandemi surut sampai sekira 2030, kondisi akan menantang karena inilah fase awal dari perubahan-perubahan tersebut. Jadi, kondisi SVB (Silicon Valley Bank), CS (Credit Suisse), ataupun DB (Deutsche Bank) tidak terjadi serta-merta," kata Rizky.
Diketahui, Silicon Valley Bank kolaps hingga bangkrut dalam hitungan hari, Credit Suisse hampir bangkrut, dan terbaru adalah saham Deutsche Bank ambruk belasan persen dalam sehari.
Kejadian tersebut dinilai Rizky menjadi akibat dari kondisi volatilitas yang merebak dari adanya pandemi, perang, dan perubahan peta bisnis, termasuk digitalisasi.
Tetapi di saat yang sama, akan sangat mungkin dari sinilah fase awal untuk mencapai keseimbangan baru secara global.
"Dari semua itu, khususnya bagi institusi perbankan, aspek governance akan semakin menentukan karena obyek bisnis atau investasi akan berubah. Berarti menuntut juga adaptasi maupun kelincahan dari sisi governance untuk tetap dapat menjamin keberlanjutan profitability di jangka panjang," pungkasnya.
Seperti Credit Suisse, Deutsche Bank adalah salah satu dari 30 lembaga keuangan yang signifikan secara global, dengan aturan internasional yang mengharuskannya untuk memiliki cadangan modal yang lebih tinggi karena kegagalannya dapat
menyebabkan kerugian yang meluas. Ban
Baca juga: Praktisi Pasar Modal: Perbankan RI Cukup Kebal Hadapi Krisis Sektor Keuangan di AS dan Eropa
k-bank besar Eropa lainnya juga jatuh dengan Commerzbank Jerman turun 4,9 persen, Societe Generale Prancis turun 6 persen, dan Raiffeisen Austria turun 7 persen.
Pasar telah diguncang oleh kekhawatiran bahwa bank lain mungkin mengalami masalah tak terduga seperti Silicon Valley Bank yang berbasis di AS, yang bangkrut setelah pelanggan menarik uang mereka dan menderita kerugian yang tidak diasuransikan karena suku bunga yang lebih tinggi.
Terkait guncangnya perbankan global tersebut Direktur Eksekutif Departemen Kebijakan Ekonomi Moneter BI Firman Mochtar menyebut imbas bangkrutnya bank-bank di Amerika Serikat(AS) tidak akan berdampak besar terutama di Indonesia.
"Kami memandang dampak rambatannya tidak besar karena eksposur kita ke sana enggak banyak," ujar Firman.
Ketahanan sistem keuangan khususnya perbankan di Indonesia kata Firman masih tergolong kuat dari sisi permodalan, risiko kredit maupun likuiditas.
Permodalan perbankan kuat dengan rasio kecukupan modal (Capital Adequacy Ratio /CAR) sebesar 25,88 persen pada Januari 2023.
"Secara internal perbankan masih cukup kuat," ujar Firman. (Tribun Network/van/wly)