Pengusaha Minta Ekspor CPO Ditingkatkan Setelah Lebaran, Ini Alasannya
Aturan mengenai ekspor Minyak Sawit Mentah atau Crude Palm Oil (CPO) dan turunannya sudah saatnya dievaluasi kembali.
Editor: Hendra Gunawan
Ia menjelaskan adanya deposito ekspor tersebut bukan berarti pemerintah tidak memperbolehkan ekspor. Hingga saat ini masih dapat dilakukan dan tanpa hambatan dengan ketentuan DMO 1:6.
"Sekarang secara pemberlakuan rasionya masih 1:6, bukan ditahan tidak ekspor, tetap sekarang ekspor, kita setor 1, kita dapat 6. Jadi sementara ini tidak ada masalah dengan ekspor CPO atau jadi terhambat istilahnya, tidak seperti itu," jelasnya ditemui dalam Munas GAPKI ke XI dan Seminar Nasional, Bali, Rabu (8/3).
Baca juga: Indonesia dan Malaysia Kompak Melawan Diskriminasi Ekspor CPO ke Uni Eropa
Saat ini importir masih menyelesaikan izin ekspor yang tersisa sebelumnya. Artinya meski ada deposito kuota ekspor tak menghambat ekspor yang berjalan.
"Jadi tidak ada masalah. Kenapa waktu itu MinyaKita jadi masalah, karena ekspor ini menurun sehingga DMO-nya tidak jalan. tapi ternyata PE juga masih banyak ketahanan.
Artinya masih banyak yang ketahanan dan ini masih menghabiskan PE itu. Jadi sebenarnya belum ada masalah terhadap ekspor itu, belum terganggu," ungkapnya.
Namun, Eddy mengakui bila terjadi pelemahan ekspor di tahun lalu. Hal tersebut disebabkan karena pasar yang kurang baik karena gejolak ekonomi global.
Meski demikian saat ini pangsa pasar ekspor CPO Indonesia masih unggul. Eddy mengatakan, ekspor sawit Indonesia masih mendominasi dibandingkan minyak nabati lainnya.
"Kalau sekarang ekspor kita masih cukup unggul. Sekarang masih 54% dibanding minyak nabati lain.
Baca juga: Jokowi Cabut Larangan Ekspor CPO, Ikappi Kecewa, GAPKI Sampaikan Apresiasi
Kita lebih efisien, karena kita tanaman tahunan, mereka (minyak nabati lain) kan tanaman semusim. Itu yang menyebabkan pangsa pasar kita lebih tinggi dari minyak nabati lain," jelasnya.
Adapun tahun lalu realisasi ekspor CPO Indonesia mencapai total 30,8 juta ton. Angka tersebut turun sebesar 3 juta ton dibandingkan taun 2021.
Ia menambahkan, jika produksi tahun ini masih sekitar 52 juta ton-53 juta ton, kemungkinan ekspor hampir sama dengan tahun 2022.
Dengan adanya kenaikan harga pupuk hingga potensi musim kemarau panjang produksi berpotensi bisa menurun.
Oleh karena itu, Gapki mendorong adanya peningkatan realisasi peremajaan sawit rakyat (PSR) tahun ini. Dengan upaya peningkatan PSR akan meningkatkan produksi CPO.
"Ini kenapa PSR didorong untuk mengejar produksi. Kalau misal produksi kita turun, konsumsi naik, bisa jadi ekspor kita tahun ini akan di bawah 30 juta ton," ujarnya.