Ekonom Ungkap Kebijakan-kebijakan Yang Mampu Redam Potensi Default AS
Amerika Serikat (AS) terancam gagal bayar utang alias default. Hal itu dikatakan Menteri Keuangan AS Janet Yellen pada Selasa (25/4/2023).
Penulis: Bambang Ismoyo
Editor: Hendra Gunawan
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ismoyo
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Amerika Serikat (AS) terancam gagal bayar utang alias default. Hal itu dikatakan Menteri Keuangan AS Janet Yellen pada Selasa (25/4/2023).
Bendahara Negeri Paman Sam tersebut mengatakan, kegagalan kongres AS untuk menaikkan plafon utang pemerintah, dan berdampak pada gagal bayar utang AS, akan memicu bencana ekonomi yang akan mendorong suku bunga AS lebih tinggi untuk tahun-tahun mendatang.
Adanya hal tersebut, Ekonom Permata Bank Josua Pardede mengatakan, ancaman default dari pemerintah AS sebenarnya cukup beralasan.
Baca juga: Imbas Bear Market, Perusahaan Kripto Three Arrows Capital Default Hingga 670 Juta Dolar AS
Karena terjadi peningkatan pengeluaran pemerintah seiring dengan peningkatan pengeluaran bunga yang naik akibat kebijakan suku bunga yang tinggi.
Salah satu kebijakan yang harus diambil oleh Pemerintah AS adalah menaikkan pagu utang.
"Namun demikian, dengan kondisi perekonomian yang masih belum stabil akibat krisis SVB (Silicon ValleyBank), pemerintah diperkirakan masih menaikan pagu utangnya," ucap Josua kepada Tribunnews, Sabtu (29/4/2023).
"Pernyataan Yellen sendiri mungkin merupakan kekhawatirannya bila utang pemerintah terus meningkat tidak terkendali," sambungnya.
Josua melanjutkan, Pemerintah AS mungkin juga dapat menahan laju pertumbuhan utangnya, yakni melalui pemotongan belanja pemerintah.
Apalagi dengan kondisi tingkat pengangguran AS yang cukup rendah, pemerintah AS seharusnya punya cukup ruang untuk melakukan kebijakan tersebut.
Josua melanjutkan, apabila AS mengambil kebijakan ini maka akan berdampak diantaranya adalah kenaikan imbal hasil atau yield surat utang pemerintah AS (US Treasury), yang kemudian secara tidak langsung ikut mengangkat yield IDR bond di Tanah Air.
Baca juga: Rusia Default, Rubel Malah Menguat Terhadap Dolar AS, Naik ke Level Tertinggi Sejak Mei 2015
Dampaknya lebih kepada potensi foreign outflow di pasar obligasi selama sentimen tersebut berada di pasar keuangan global.
"Adapun jumlah utang dan beban bunga pemerintah tidak terdampak mempertimbangkan tingkat utang termasuk utang luar negeri Indonesia yang manageable," papar Josua.
"Sementara itu, dampaknya terhadap perbankan, cenderung risikonya relatif rendah mengingat eksposur perbankan nasional terhadap UST (surat utang pemerintah AS) juga relatif rendah," pungkasnya.