Pengamat Nggak Yakin Butuh Tambah Saham Freeport karena Harga Lagi Mahal
Menurutnya, pemerintah akan merogoh kocek dalam-dalam jika mau kembali menambah kepemilikan di PTFI karena harganya lagi mahal.
Penulis: Yanuar R Yovanda
Editor: Hendra Gunawan
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Yanuar Riezqi Yovanda
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Pengamat ekonomi energi dari Universitas Gadjah Mada Fahmy Radhi tidak yakin pemerintah butuh menambah saham sekira 10 persen di PT Freeport Indonesia (PTFI)
Menurutnya, pemerintah akan merogoh kocek dalam-dalam jika mau kembali menambah kepemilikan di PTFI karena harganya lagi mahal.
Diketahui, saham induk PTFI, yakni Freeport-McMoRan Inc dengan kode FCX di Bursa New York Stock Exchange sudah meroket 300 persen lebih sejak April 2020.
Baca juga: Pemerintah Ingin Tambah 10 Persen Saham di Freeport, DPR Soroti IUPK
"Saya nggak yakin bahwa penambahan 10 persen tadi itu dibutuhkan, apalagi harus keluarkan dana untuk membeli tadi butuh dana tinggi. Lagian, sekarang 51 persen sudah mayoritas," ujarnya saat dihubungi Tribunnews.com, Senin (1/5/2023).
Kemudian, jika penambahan saham dikaitkan izin relaksasi ekspor konsentrat dinilainya juga tidak tepat, bahkan timbulkan preseden ada diskriminasi terhadap komoditas tambang lainnya.
"Sebelumnya nikel tegas sekali dilarang. Kemudian, dengan adanya larangan tersebut, paksa penambang nikel bangun smelter," kata Fahmy.
Mestinya, hal itu diberlakukan pada siapapun termasuk Freeport, apalagi jika lihat jejak perusahaan Negeri Paman Sam tersebut selalu menunda bangun smelter.
"Bangun smelter nggak pernah jadi. Selalu minta relaksasi ekspor konsentrat untuk dimurnikan di luar negeri jadi perak, tembaga, emas, kalau dihilirisasi di Indonesia lebih menguntungkan daripada tambah porsi saham," pungkasnya.