Pasir Laut Akan Diekspor ke Singapura? Negeri Itu Disebut Sedang Ada Proyek Besar
Keran ekspor pasir laut telah dibuka. Para pengusaha pun diperbolehkan melakukan pengerukan untuk keperluan dijual ke luar negeri.
Editor: Hendra Gunawan
TRIBUNNEWS.COM – Keran ekspor pasir laut telah dibuka. Para pengusaha pun diperbolehkan melakukan pengerukan untuk keperluan dijual ke luar negeri.
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan menyebut pengerukan pasir laut untuk keperluan ekspor tidak akan merusak lingkungan.
Luhut menepis berbagai kritik kalau pengerukan pasir laut untuk kemudian dijual ke luar negeri seperti Singapura, bakal membuat kerusakan perairan dan gugusan pulau di Indonesia.
"Enggak, dong (merusak). Sekarang ada (teknologi) GPS segala macam. Kita pastikan tidak terjadi (kerusakan lingkungan). Sekarang, kalau (pasir laut) harus diekspor, manfaatnya akan jauh lebih besar untuk BUMN," tegas Luhut dikutip dari Harian Kompas, Kamis (1/6/2023).
Baca juga: Jokowi Didesak Batalkan Izin Ekspor Pasir Laut, Keuntungan Tak Setimpal dengan Kerusakan Lingkungan
Pengerukan pasir laut untuk keperluan ekspor sendiri kini diizinkan pemerintah setelah selama 20 tahun dilarang.
Pelegalan menjual pasir laut ke luar negeri setelah terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut yang diteken Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Menurut klaim Luhut, pengerukan pasir laut justru bagus untuk kesehatan ekosistem.
Kebijakan ini juga bermanfaat untuk mendukung percepatan industri dalam negeri.
Di mana pasir bisa dimanfaatkan untuk kebutuhan reklamasi guna pengembangan industri. Pengerukan pasir laut juga bermanfaat untuk pendalaman alur kapal.
"Pasir laut itu (dikelola) untuk pendalaman alur karena kalau tidak, alur kita akan semakin dangkal. Jadi, untuk kesehatan laut juga," beber Luhut.
"Sekarang, proyek besar ini adalah (Pulau) Rempang (Kepulauan Riau). Itu mau direklamasi supaya digunakan untuk industri besar. (Termasuk) untuk (industri) solar panel,” kata Luhut lagi.
Sebagai informasi saja, PP Nomor 26 Tahun 2023 memperbolehkan pasir laut diekspor keluar negeri.
Dalam dalam Pasal 9 ayat 2, pemanfaatan pasir laut digunakan untuk reklamasi di dalam negeri, pembangunan infrastruktur pemerintah, pembangunan prasarana oleh pelaku usaha, dan ekspor.
Baca juga: Pemerintah Bakal Buat Harga Acuan Ekspor Pasir Laut
Aturan ini dirilis sebagai upaya pemerintah dalam bertanggung jawab untuk melindungi dan melestarikan lingkungan laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2O14 tentang Kelautan.
Selain itu, aturan ini juga untuk perlindungan dan pelestarian lingkungan laut serta untuk mendukung keterpeliharaan daya dukung ekosistem pesisir dan laut, sehingga meningkatkan kesehatan laut.
Meski pasir laut diperbolehkan diekspor, ada beberapa ketentuan yang harus dipenuhi pelaku usaha, seperti perizinan, syarat penambangan pasir laut, hingga ketentuan ekspor karena menyangkut bea keluar.
Singapura paling diuntungkan
Dikutip dari Reuters, sebelum pelarangan, Indonesia adalah pemasok utama pasir laut Singapura untuk perluasan lahan melalui reklamasi.
Pasir-pasir impor diambil dari gugusan pulau di sekitar Kepulauan Riau, dengan pengiriman rata-rata lebih dari 53 juta ton per tahun antara tahun 1997 hingga 2002.
Otoritas Kelautan dan Pelabuhan Singapura saat ini sedang merencanakan dan merancang fase ketiga dari mega proyek Pelabuhan Tuas, dengan pekerjaan reklamasinya diharapkan akan selesai pada pertengahan 2030-an.
Baca juga: Ekspor Pasir Laut Diperbolehkan, Menteri Trenggono Minta Negara Lain Bayar Mahal!
Proyek pelabuhan yang bakal dibangun di atas lahan reklamasi itu tentunya membutuhkan pasir dalam jumlah besar untuk menguruk kedalaman laut.
Di sisi lain, Malaysia yang sempat jadi pemasok pasir laut sudah menghentikan ekspor galian C ini ke Singapura.
Kembali ke tahun 2007 saat Indonesia menegaskan larangan ekspor pasir laut, pemerintah Singapura sempat meradang dan terpaksa mencari sumber pasokan pasir dari negara lain.
Kala itu, pemerintah Singapura bahkan menuding Indonesia sengaja menghentikan ekspor pasir laut untuk menekan negaranya agar bersedia bernegosiasi terkait perjanjian ekstradisi dan penetapan garis perbatasan.
Sementara itu masih dikutip dari Harian Kompas, karena tingginya permintaan pasir laut, kala itu marak eksploitasi pasir laut adalah Kepulauan Riau.
Sejak 1976 hingga 2002, pasir dari perairan Kepri dikeruk untuk mereklamasi Singapura.
Volume ekspor pasir ke Singapura sekitar 250 juta meter kubik per tahun. Pasir dijual dengan harga 1,3 dolar Singapura per meter kubik, padahal seharusnya harga dapat ditingkatkan pada posisi tawar sekitar 4 dollar Singapura.
Baca juga: Menteri ESDM Sebut Dibukanya Ekspor Pasir Laut Karena Terjadi Pendangkalan
Dengan selisih harga itu, Indonesia rugi sekitar 540 juta dollar Singapura atau Rp 2,7 triliun per tahun.
Keuntungan tak sebanding kerusakan
Pengamat ekonomi energi Universitas Gadjah Mada (UGM), Fahmy Radhi mendesak Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk membantalkan izin ekspor pasir laut.
Menurut Fahmy, pemberian izin ekspor pasir laut merupakan sebuah ironi.
"Jokowi terus maju tak gentar melawan putusan WTO yang menentang kebijakan larangan ekspor bijih nikel."
"Ironisnya, di tengah larangan ekspor bijih nikel, Jokowi justru mengeluarkan izin ekspor pasir laut melalui Peraturan Pemerintah (PP) 26/2023," katanya kepada Tribunnews.com dalam keterangan tertulis, Kamis (1/6/2023).
Fahmy menyebut, izin ekspor pasir laut sebelumnya sudah dilarang selama 20 tahun.
Larangan tersebut ditaken di era pemerintahan Presiden Megawati melalui Surat Keputusan (SK) Menperindag No 117/MPP/Kep/2/2003 tentang Penghentian Sementara Ekspor Pasir Laut.
Namun setelah dua dekade, izin ekspor pasir laut kembali dibuka oleh Presiden Jokowi jelang akhir kepemimpinannya.
Fahmy mengingatkan perihal bahaya ekspor pasir laut yang tidak merugikan untuk Indonesia.
"Izin ekspor pasir laut dapat menyebabkan kerusakan lingkungan dan ekologi yang lebih luas dan membahayakan bagi rakyat pesisir laut, bahkan pengerukan pasir laut secara ugal-ugalan akan menenggelamkan pulau-pulau di sekitarnya."
"Padahal, keuntungan ekonomi yang diterima Indonesia atas ekspor pasir laut itu, tidak setimpal dengan kerusakan lingkungan dan ekologi yang akan terjadi," tegasnya.
Fahmy dalam keterangannya juga mengomentari pernyataan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan bahwa pengerukan pasir laut tidak merusak lingkungan.
Luhut beralasan pemerintah akan melakukan pengawasan ketat yang menggunakan global positioning system.
Fahmy meragukan pernyataan di atas dan mempertanyakan siapa yang bisa menjamin bahwa pengerukan pasir laut sesuai dengan aturan PP ditetapkan.
"Pengusaha yang diberikan izin ekspor tentunya akan mengejar cuan sebesar-besarnya dengan melakukan pengerukan pasir laut secara ugal-ugalan. Apalagi permintaan pasir laut dari Singapura untuk reklamasi selalu meningkat."
"Sungguh sangat ironis, pada saatnya area daratan Singapura meningkat pesat, sementara daratan Indonesia semakin mengerut karena banyak pulau yang tenggelam sebagai dampak pengerukan pasir laut yang berkelanjutan," beber Fahmy.
Terakhir, Fahmy meminta Jokowi untuk melanjutkan legasi kebijakan Presiden Megawati yang sudah melarang ekspor pasir laut sejak 20 tahun lalu.
"Presiden Jokowi sebaiknya membatalkan izin ekspor pasir laut karena berpotensi merusak lingkungan dan ekologi, menyengsarakan rakyat pesisir laut, dan menenggelamkan pulau-pulau, yang mengerutkan wilayah daratan Indonesia," tutupnya. (Kompas.com/Tribunnews.com)