Harga CPO Melesat di Juni 2023, Sampai Kapan dan Apa Saja Risiko Buat Investor?
Harga Crude Palm Oil (CPO) atau minyak kelapa sawit tercatat naik sekira 17 persen sejak awal hingga pertengahan Juni 2023 dari harga RM 3.198 per ton
Penulis: Yanuar R Yovanda
Editor: Hendra Gunawan
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Yanuar Riezqi Yovanda
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Harga Crude Palm Oil (CPO) atau minyak kelapa sawit tercatat naik sekira 17 persen sejak awal hingga pertengahan Juni 2023 dari harga RM 3.198 per ton di 1 Juni 2023 menjadi RM 3.743 di 16 Juni 2023.
Analis pasar modal Lanjar Nafi mengatakan, pendorong kenaikan harga CPO sejak awal Juni 2023, yakni adanya tanda-tanda awal el nino seperti cuaca yang lebih kering, sehingga memangkas produksi.
Lebih lanjut, dia memperkirakan berapa lama kira-kira penguatan harga CPO berlanjut dan bisakah kembali menuju ke atas RM 7.000 per ton seperti Maret 2022 lalu saat masih pandemi Covid-19.
Baca juga: Bursa CPO Dinilai Hanya Untungkan Asing, Petani dan Pelaku Usaha Makin Terpuruk
"Hingga el nino usai (penguatan harga). Namun untuk kembali di atas RM 7.000 sepertinya sulit melihat pada tahun lalu masih terkait efek pandemi Covid-19 yang membuat produksi belum kembali normal," ujarnya melalui pesan singkat kepada Tribunnews.com, Senin (19/6/2023).
Di sisi lain, Lanjar membeberkan dampak kenaikan harga yang terjadi sejak Juni 2023 terhadap kinerja emiten CPO di Indonesia.
"Dengan produksi relatif lebih lambat akibat cuaca kering dan el nino, tentu membuat persedian CPO akan lebih rendah ketimbang pertumbuhan permintaan. Ini membuat pada produsen CPO menaikkan harga mengikuti harga yang bergerak di pasaran guna mengimbangi biaya produksi yang terganggu," katanya.
Sementara itu, ada tiga saham yang direkomendasikan beserta Price Earning Ratio (PER), yakni PT Dharma Satya Nusantara Tbk (DSNG), PT Sawit Sumbermas Sarana Tbk (SSMS), dan PT PP London Sumatra Indonesia Tbk (LSIP).
Diketahui, PER merupakan rasio yang digunakan untuk menilai mahal murahnya saham berdasarkan kemampuan perusahaan menghasilkan laba bersih.
"DSNG dengan PER 6,08 kali, SSMS dengan PER 8,69 kali, dan LSIP dengan PER 12,5 kali," tutur Lanjar.
Dia menambahkan, ada risiko yang harus diantisipasi investor terkait saham di sektor CPO yang harganya dipengaruhi berbagai sentimen dari luar serta dalam negeri.
Baca juga: Bappebti Akan Terbitkan Aturan Bursa Berjangka CPO di Juni 2023
Secara umum, risiko yang dapat dicermati adalah harga CPO dipengaruhi oleh faktor-faktor pasar global, sehingga dapat berfluktuasi secara signifikan.
Selanjutnya, ebijakan pemerintah terkait sektor kelapa sawit, termasuk kebijakan perdagangan, peraturan lingkungan, dan regulasi perkebunan, memiliki dampak signifikan terhadap operasi dan kinerja perusahaan produsen CPO.
Industri kelapa sawit juga sering kali dikaitkan dengan masalah lingkungan, termasuk deforestasi, kerusakan habitat, emisi gas rumah kaca, dan masalah keberlanjutan.
Selain itu, permintaan global terhadap CPO dapat berubah seiring waktu hingga perubahan kebijakan energi, perubahan preferensi konsumen, atau perubahan tren makanan dapat memengaruhi permintaan CPO.
"Kemudian, risiko operasional mencakup berbagai faktor seperti kegagalan panen, bencana alam, gangguan logistik, dan permasalahan teknis dalam operasi perusahaan produsen CPO," pungkas Lanjar.