Diskusi Jurnalis Kupas Indikasi Kampanye Negatif ke Pelaku Industri AMDK
Industri AMDK di Indonesia makin berkembang dan menunjukkan persaingan ketat terutama dari cara mempromosikan produknya
Penulis: Muhammad Fitrah Habibullah
Editor: Vincentius Haru Pamungkas
TRIBUNNEWS.COM - Industri AMDK di Indonesia makin berkembang dan menunjukkan persaingan ketat. Hal ini menimbulkan berbagai hal, terutama dari bagaimana para pelaku industri mempromosikan produknya.
Salah satu penantang market leader AMDK misalnya, perusahaan dalam negeri ini terindikasi menjadi sasaran kampanye negatif di berbagai media.
Dalam diskusi media Klub Jurnalis Ekonomi Jakarta (KJEJ) bertema 'Menyikapi Hoax dan Negative Campaign Dalam Persaingan Bisnis AMDK' di Jakarta, Kamis (15/6/2023), terungkap bahwa salah satu modus negative campaign tersebut adalah mengaitkan produk perusahaan dengan isu lingkungan.
Produk galon sekali pakai dicap 'tidak peduli lingkungan' karena dipasarkan dengan model penjualan beli putus. Faktanya, kemasan galon produk tersebut terbuat dari jenis plastik mutakhir, sama dengan plastik air mineral bermerek kemasan botolan, yang lebih aman, ramah lingkungan dan bebas dari risiko senyawa kimia berbahaya Bisfenol A (BPA).
Salah satu redaktur pelaksana media online, Faisal Rachman, mengakui banyak kasus persaingan usaha yang tak sehat yang menggunakan media massa sebagai arena tempur.
Salah satu kasus yang cukup mencuat ke publik adalah persaingan antara produsen AMDK dengan brand yang terlibat.
“Persaingan usaha yang tak sehat yang menggunakan media massa sebagai arena berperang tentunya lebih 'panas' lagi karena adanya media massa yang kurang jelas identitasnya,” katanya.
Menurut Faisal, terdapat hampir 80 persen dari 47.000 media massa per Januari 2023 yang beritanya tidak dapat dipertanggungjawabkan. selain itu, inovasi dan kreativitas komunikasi brand challenger memicu berbagai indikasi isu black campaign yang jadi penyebabnya.
Praktik greenwashing perlu diwaspadai
Faisal juga mengingatkan media untuk cermat mendeteksi upaya black campaign serupa, termasuk dalam isu lingkungan.
"Praktik 'greenwashing' perlu diwaspadai sehingga media tak terjebak mengkampanyekan hal yang justru keliru," tegas Faisal.
Singkatnya, Greenwashing bisa dikenali dari tindakan perusahaan atau organisasi yang kerap membuat branding sebagai perusahaan ‘ramah lingkungan’ ketimbang meminimalkan dampak negatif produk dan aktivitas perusahaan pada lingkungan.
"Dengan greenwashing, perusahaan bisa memunculkan dirinya sebagai pahlawan lingkungan padahal, bisa jadi, dia adalah salah satu pencemar plastik di lingkungan nomor wahid,” ujar Faisal.
Lebih lanjut, Kepala Badan Pengurus Pusat Perusahaan Periklanan Indonesia (BPP P3I), Susilo Dwihatmanto, menambahkan bahwa berbagai bentuk negative campaign harus dihentikan.
“Kami sudah menyiapkan rambu-rambu beriklan yang jelas. Dengan demikian segala upaya iklan yang menjelekkan kompetitor lain baik di media massa konvensional maupun di media sosial itu tidak etis,” ujar Susilo.
Susilo memaparkan, berbagai rambu terkait etika periklanan sudah dituangkan dalam panduan Etika Pariwara Indonesia Amandemen 2020.
“Meski demikian kita juga harus memahami bahwa etika lebih ke pedoman. Spiritnya adalah self regulations. Bagaimana membuat iklan secara lebih beretika,” tegas Susilo.
Di akhir acara Diskusi KJEJ, Burhan Abe, jurnalis senior sekaligus pemimpin redaksi media online Sorogan.id menyimpulkan selaku moderator bahwa di era keterbukaan informasi saat ini, dan menjelang tahun politik, sebaiknya produsen menghentikan segala negative campaign dan berfokus memberikan produk terbaik untuk masyarakat.
“Sehingga masyarakat dan berbagai stakeholders industri AMDK lainnya tidak dibuat bingung dengan berbagai pemberitaan maupun promosi negatif di media massa dan media sosial. Fokuskan segala upaya untuk menciptakan ketenangan di masyarakat sekaligus tanpa henti berinovasi memberikan produk berkualitas yang aman dan menyehatkan masyarakat,” ujar Burhan.