Wujudkan Indonesia Emas 2045, Ekonom UI: Kualitas Inklusi dan Literasi Keuangan Wajib Ditingkatkan
kualitas inklusi dan literasi keuangan dinilai wajib ditingkatkan, mengingat sektor keuangan sebagai pendukung utama perekonomian.
Editor: Sanusi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ekonom sekaligus Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Indonesia (UI), Teguh Dartanto mengatakan untuk mewujudkan Indonesia Emas 2045 perlu peningkatan inklusi dan literasi keuangan.
Baca juga: Kemenkominfo: Literasi Digital Cegah Dampak Negatif di Dunia Siber
"Sektor keuangan adalah supporting dari sektor riil. Saat ini, peningkatan inklusi dan literasi keuangan memang tengah dipacu oleh pemerintah," ujar Teguh, Selasa (27/6/2023).
Terlebih untuk inklusi keuangan, pemerintah menargetkan mencapai 90 persen pada 2024. Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) 2022 yang dirilis Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat indeks literasi keuangan masyarakat Indonesia sebesar 49,68 persen. Adapun indeks inklusi keuangan mencapai 85,10 persen.
Teguh menyebut, indeks literasi dan inklusi memang semakin membaik. SNLIK adalah survei 3 tahunan di mana pada 2019, indeks literasi keuangan hanya 38,03 persen, sedangkan indeks inklusi sebesar 76,19 persen.
Baca juga: OJK: Masih Ada Gap Antara Indeks Literasi dan Inklusi Keuangan Masyarakat
“Inklusi yang sifatnya benar-benar memanfaatkan layanan untuk kepentingan produktif itu belum banyak. Artinya memang untuk ke depannya sektor keuangan yang perlu didorong adalah financial inclusion yang lebih berkualitas. Bagaimana mendorong masyarakat ini bisa memanfaatkan layanan dan jasa keuangan formal itu untuk kegiatan produktif,” ujar Teguh.
Inklusi menjadi indikator kemajuan dan kesejahteraan ekonomi karena masyarakat dinilai sudah mampu mengakses produk dan jasa layanan keuangan formal sesuai kebutuhan. Namun, lanjut Teguh, mayoritas inklusi hanya kepemilikan dan akses, sehingga kualitasnya perlu ditingkatkan agar masyarakat benar-benar sejahtera dan ekonomi menjadi maju.
Belum lama ini, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengungkapkan tantangan terbesar untuk mewujudkan Indonesia Emas 2045 adalah sektor keuangan Tanah Air yang belum mampu berkembang secara cepat dan dinilai masih sangat dangkal. Hal tersebut disampaikan Menkeu Sri Mulyani saat sosialisasi Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (PPSK) bagi pelaku usaha, baru-baru ini.
Oleh karena itu, Teguh menegaskan saat ini inklusi keuangan lebih banyak berupa tabungan. Sedangkan untuk keperluan yang lebih produktif seperti investasi masih kalah jumlahnya.
Teguh mencontohkan, sudah sering kali pemerintah mengeluarkan surat berharga negara (SBN) seperti sukuk. Namun minimnya pemahaman mengenai SBN juga sukuk membuat instrumen investasi tersebut hanya dimanfaatkan sebagian kecil masyarakat.
“Padahal instrumen investasi tersebut sudah dibuat yang kecil-kecil nilainya agar lebih banyak masyarakat memanfaatkan. Kalau informasi seperti ini bisa tersebar ke seluruh masyarakat, dan seluruh masyarakat Indonesia bisa memiliki itu, artinya apa? Imbal hasilnya itu bisa dirasakan seluruh masyarakat,” lanjut Teguh.
Dia pun mengambil contoh lain, yaitu sektor saham yang peningkatan investornya baru terjadi beberapa tahun ke belakang. Oleh karena itu, menurutnya terkait inklusi yang lebih produktif seperti investasi perlu terus ditingkatkan ke depan, utamanya melalui literasi yang berkualitas pula.
Teguh menilai dengan financial literacy yang lebih baik, ke depan masyarakat Indonesia akan lebih melek terhadap isu-isu keuangan. Dengan demikian masyarakat dapat merencanakan masa depannya dengan lebih baik.
“Interpretasinya lebih baik. Menurut saya ke depan lebih ke layanan keuangan itulah yang mungkin perlu kita dorong, financial literacy. Inclusion sudah mulai cukup tinggi, tapi financial literacy, bagaimana memanfaatkan akses layanan keuangan untuk hal-hal yang sifatnya produktif itu yang mungkin perlu ditingkatkan,” tegasnya.
FEB UI sendiri lanjut Teguh, siap memperkuat kolaborasi untuk membantu pemerintah dalam hal tersebut. Teguh menyebut, pihaknya selalu berupaya berkolaborasi dengan sektor finansial dari berbagai departemen melalui berbagai kajian untuk mendukung kebijakan dan menyelenggarakan pelatihan literasi finansial.
“Untuk men-support misalnya kebijakan melalui kajian-kajian. Kami sangat-sangat open dan mendorong untuk terus berkolaborasi. Menurut saya itu yang perlu kita support untuk berkembang ke depan,” pungkasnya.