PBB Publikasikan Utang Publik di Banyak Negara, Pengamat Ini Klaim Indonesia Masih Aman
Sebanyak 3,3 miliar penduduk dunia tinggal di negara yang membelanjakan lebih besar uang untuk membayar bunga utang ketimbang belanja kesehatan
Penulis: Danang Triatmojo
Editor: Choirul Arifin
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Danang Triatmojo
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menerbitkan laporan berjudul A World of Debt yang menyoroti tingginya utang publik dunia yang mencapai 92 triliun dolar AS tahun 2022.
Sebanyak 3,3 miliar penduduk dunia tinggal di negara yang membelanjakan lebih besar uang untuk membayar bunga utang ketimbang belanja kesehatan atau pendidikan. Director Political Economy & Policy Studies (PEPS) Anthony Budiawan menyebut Indonesia masuk negara gagal sistemik karena pembayaran utang lebih besar daripada anggaran kesehatan. Hal itu disimpulkan dari pernyataan Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres.
Namun menurut Direktur Eksekutif The Prakarsa, Ah Maftuchan, memandang Indonesia jauh dari konteks gagal sistemik yang dimaksud. Sebab belanja untuk pendidikan dan kesehatan setiap tahunnya lebih besar dibanding membayar bunga utang.
"Indonesia sendiri masih sangat jauh dari konteks gagal sistemik ini. Dari sisi belanja kesehatan dan pendidikan, mungkin, hampir dua kali lipat dari bayar bunga pinjaman tiap tahunnya," kata Maftuch kepada wartawan, Selasa (25/7/2023).
Pengamat yang mengaku rutin membaca laporan PBB ini menyebut ada salah kaprah ihwal konteks negara gagal sistemik. Menurutnya konteks gagal sistemik dalam laporan PBB merujuk pada Arsitektur Keuangan Internasional (IFA) yang tidak setara.
Ketidaksetaraan tersebut membuat negara-negara miskin dan berkembang harus membayar bunga utang yang tinggi untuk bisa mendapatkan pinjaman.
Baca juga: Kementerian Keuangan Sebut Utang Indonesia Tak Bertambah Asal Subsidi Hilang
"Yang disampaikan PBB soal negara gagal sistemik itu lebih ke aspek risiko yang sistematis. Konteksnya adalah risiko sistematis pada global financial system atau di International Financial Architecture atau IFA," jelasnya.
"Yang dianggap kegagalan sistematis ini adalah pasar keuangan global atau sistem keuangan global," sambung Maftuch.
Ia pun mengaku tak sepakat jika disebut Indonesia negara gagal sistemik. Pasalnya data pada tahun 2022 memperlihatkan bahwa belanja kesehatan dan pendidikan lebih tinggi ketimbang membayar bunga utang.
Baca juga: Total Utang Indonesia Mencapai Rp5.970 Triliun, Bank Indonesia Sebut Masih Sehat
Pada tahun itu bunga utang yang harus dibayar Indonesia sebesar Rp386,3 triliun. Sementara belanja pendidikan dan kesehatan Indonesia, pada tahun yang sama mencapai Rp649,3 triliun.
"Data ini menunjukkan belanja kesehatan dan pendidikan sudah otomatis jauh dari angka total pembayaran bunga utang kita tiap tahun. Artinya dari sisi kategori yang dibikin oleh PBB, ya Indonesia tidak masuk di situ," kata Maftuch.
Baca juga: Beban Subsidi Energi yang Selalu Membengkak Bikin Utang Indonesia Terus Melonjak
Menurut Maftuch, Republik Zambia dapat menjadi contoh negara gagal sistematis yang dimaksud PBB. Negara yang berada di Afrika bagian selatan ini baru saja mengajukan restrukturisasi dan penjadwalan ulang untuk pembayaran utangnya yang berjumlah kurang lebih 6 miliar dolar AS lewat forum G20 dan Paris Club.
Zambia masuk klasifikasi gagal sistematis lantaran mengajukan pinjaman utang ke International Monetary Fund (IMF), demi bisa membayar bunga utang negara.
“Mereka minta rescheduling dengan mekanisme atau pengajuan lewat Paris Club. Mereka mengajukan penjadwalan ulang selama 20 tahun,” pungkas dia.