Faisal Basri Sanggah Jokowi soal Hilirisasi Nikel Beri Untung Rp 510 T: Angka-angkanya Tidak Jelas
Faisal Basri mempertanyakan sumber data dari Jokowi yang menyebut hilirisasi nikel mampu membuat Tanah Air meraup untung hingga Rp 510 triliun.
Penulis: Yohanes Liestyo Poerwoto
Editor: Arif Fajar Nasucha
TRIBUNNEWS.COM - Ekonom, Faisal Bisri menyanggah pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang menyebut hilirasisasi nikel membuat Indonesia meraup untung Rp 517 triliun.
Sekilas informasi, pernyataan Jokowi ini juga menjawab tudingan Faisal Bisri sebelumnya yang menyebut bahwa hilirisasi nikel yang dilakukan pemerintah Indonesia justru menguntungkan China.
"Hitungan dia bagaimana. Kalau hitungan kita ya, contoh saya berikan nikel, saat diekspor mentahan setahun kira-kira hanya Rp 17 triliun. Setelah masuk ke industrial downstreaming, ada hilirisasi, menjadi Rp 510 triliun," ujarnya usai menjajal LRT di Stasiun Dukuh Atas, Jakarta pada Kamis (10/8/2023) dikutip dari YouTube Sekretariat Presiden.
Jawaban Jokowi itu pun lalu disanggah kembali oleh Faisal Basri.
Dirinya pun mempertanyakan sumber dari hitung-hitungan Jokowi yang menyebut usai adanya hilirisasi nikel, Indonesia meraup untung hingga Rp 517 triliun.
"Angka-angka yang disampaikan Presiden tidak jelas sumber dan hitung-hitungannya. Presiden hendak meyakinkan bahwa kebijakan hilirisasi nikel amat menguntungkan Indonesia dan tidak benar tuduhan bahwa sebagian besar kebijakan hilirisasi dinikmati oleh China," katanya dalam blog pribadinya, faisalbisri.com dikutip pada Jumat (11/8/2023).
Baca juga: Kasus Korupsi Tambang Nikel, PT KKP Sebut Kejaksaan Sita 11 Rekening Koran
Kendati demikian, Faisal Basri mengakui bahwa hilirisasi yang dilakukan membuat nilai tambah produk ekspor melonjak.
Hanya saja, angka keuntungan yang diperoleh tidak sebesar yang disampaikan Jokowi.
Faisal Bisri pun mengutip data tahun 2014 di mana nilai ekspor bijih nikel (kode HS 2604) hanya sebesar Rp 1 triliun.
Angka tersebut berasal dari ekspor senilai 85,913 juta dolar AS dikalikar rerata nilai tukar rupiah di tahun yang sama yakni Rp 11.865 per dolar AS.
Sementara, berdasarkan data tahun 2022, nilai ekspor besi dan baja (kode HS 72) yang diklaim sebagai hasil dari hilirisasi tercatat sebesar 27,8 miliar dolar AS.
Ketika dikalikan dengan rerata nilai tuka rupiah pada 2022 sebesar Rp 14.876 per dolar AS, nilai ekspor besi dan baja setara dengan Rp 413,9 triliun.
"Terlepas dari pebedaan data antara yang disampaikan Presiden dan hitung-hitungan saya, memang benar adanya bahwa lonjakan ekspor dari hasil hilirisasi, yaitu 414 kali lipat. Sungguh fantastis," kata Faisla Basri.
Namun, lonjakan nilai ekspor tersebut, menurut Faisal Basri, tidak membuat 100 persen uang mengalir ke Indonesia.
Hal tersebut lantaran seluruh perusahaan smelter nikel seluruhnya berada di China.
Dengan adanya hal ini, Faisal Basri mengatakan perusahaan China memiliki hak untuk membawa hasil ekspornya kemanapun yang dimau.
"Namun apakah uang hasil ekspor mengalir ke Indonesia? mengingat hampir semua perusahaan smelter pengolah bijih nikel 100 persen dimiliki oleh China dan Indonesia menganut rezim devisa bebas, maka adalah hak perusahaan China untuk membawa semua hasil ekspornya ke luar negeri atau ke negerinya sendiri," jelasnya.
Faisal Basri juga membandingkan antara ekspor sawit dengan ekspor olahan bijih nikel.
Untuk ekspor sawit, pemerintah mengenakan pajak ekspor ditambah pungutan berupa bea sawit.
Sedangkan ekspor olahan bijih nikel sama sekali tidak dikenai jenis pajak atau pungutan apapun.
"Jadi penerimaan pemerintah dari ekspor semua jenis produk smelter nikel nihil alias nol besar," katanya.
Senada, perusahaan smeleter nikel pun bebas dari pajak keuntungan badan lantaran adanya tax holiday selama 20 tahun atau lebih.
Hal ini berbeda dengan keuntungan perusahaan sawit dan olahannya yang tetap dikenai pajak keuntungan perusahaan atau pajak penghasilan badan.
"Jadi nihil pula penerimaan pemerintah dari laba luar biasa yang dinikmati perusahaan smelter nikel," katanya.
Faisal menganggap hal ini lantaran adanya insentif dari Kementerian Keuangan (Kemenkeu) yang memberikan fasilitas bagi perusahaan smelter China lewat Peraturan Pemerintah yang dilimpahkan ke BKPM.
Baca juga: Kontraktor China Garap Proyek Smelter Nikel Matte di Kalimantan Timur
Selain itu, Faisal Basri juga mengatakan perusahaan smelter China tidak pernah membayar royalti.
Ia mengungkapkan pihak yang membayar royalti ke pemerintah adalah perusahaan penambang nikel nasional.
Ketika masih dibolehkan mengekspor bijih nikel, kata Faisal, pemerintah masih memperoleh pemasukan dari pajak ekspor.
"Hilirisasi ugal-ugalan seperti yang diterapkan untuk nikel sangat sedikit meningkatkan nilai tambah nasional.
"Nilai tambah yang tercipta dari kebijakan hilirisasi dewasa ini hampir seluruhnya dinikmati oleh China dan mendukung industrialisasi di China, bukan di Indonesia," jelasnya.
Bukan tanpa alasan, pernyataan Faisal ini berdasarkan hitung-hitungan peranan sektor industri manufaktur yang terus menurun dari 21,1 persen di tahun 2014 menjadi 18,3 persen pada 2022.
Data ini menjadikan industri manufaktur pada titik terendah dalam 33 tahun terakhir.
Padahal, kebijakan hilirisasi sudah berlangsung selama 10 tahun terakhir.
Tak sampai di situ, adanya smelter nikel, kata Faisal, juga tidak memperdalam struktur industri nasional lantaran hampir separuh ekspor besi dan baja dalam bentuk ferro alloy atau ferro nickel, nickel pig iron dan nickel mate.
Hal ini diartikan bahwa produk yang diekspor tersebut perlu diolah lagi.
"Hampir semua produk-produk itu tidak diolah lebih lanjut, melainkan hampir seluruhnya diekspor ke China. Di China, produk-produk seperempat jadi itu diolah lebih lanjut utnuk memperoleh nilai tambah yang jauh lebih tinggi."
"Lalu produk akhir dijual atau diekspor ke Indonesia," tuturnya.
Hilirisasi Nikel Untungkan China Ketimbang Indonesia
Faisal mengungkapkan nilai tambah smelter nikel sebagian besar dinikmati oleh China.
Ia menyebut nilai tambah tersebut mengalir ke Indonesia tak lebih dari 10 persen.
Setidaknya ada tiga alasan menurut Faisal yang menyebabkan hilirisasi nikel menguntungkan China ketimbang Indonesia.
Pertama, hampir smelter nikel dimiliki oleh pengusaha China lataran memperoleh fasilitas tax holiday sehingga mengakibatkan tak satu persen pun keuntungan mengalir ke Tanah Air.
Kedua, hampir seratus persen modal berasal dari pebankan China, maka pendapatan bunga juga hampir seluruhnya mengalir ke China.
Baca juga: KPK Usut Dugaan Korupsi Pejabat Daerah Terima Fee Pertambangan & Bermain Nikel, Siapa Sosoknya?
Ketiga, banyak tenaga kerja China di smelter nikel.
"Salah satu perusahaan smelter China membayar gaji antara Rp 17 juta hingga Rp 54 juta."
"Sedangkan rata-rata pekerja Indonesia hanya digaji jauh lebih rendah atau di kisaran upah minimum. Dengan memegang status visa kunjungan, sangat boleh jadi pekerja-pekerja China tidak membayar pajak penghasilan," tuturnya.
Tak sampai di situ, perusahaan smelter China juga memperoleh untung semakin besar lantaran dapat membeli bijih nikel dengan harga murah dan relatif lebih rendah dari harga internasional.
Ketika dibandingkan, harga nikel 1,8 persen pada Juli-September 2021 di Shanghai Metal Market (SMM) mencapai 82,7 dolar per ton.
Sementara, harga patokan mineral logam di Indonesia hanya 40,9 per ton.
"Perusahaan smelter memang membayar pajak bumi dan bangunan, tetapi nilainya amatlah kecil," terangnya.
(Tribunnews.com/Yohanes Liestyo Poerwoto)