Menteri ESDM Arifin Tasrif Dorong ASEAN Siapkan Skema Pendanaan Transisi Energi
Dibutuhkan sinergi dan kolaborasi negara-negara ASEAN untuk mencapai ketahananan energi yang ramah terhadap lingkungan.
Penulis: Bambang Ismoyo
Editor: Seno Tri Sulistiyono
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ismoyo
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Indonesia mendorong negara-negara yang tergabung di kawasan Asia Tenggara atau ASEAN, untuk dapat memiliki skema pendanaan dalam hal transisi energi dari konvensional menuju terbarukan.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif mengungkapkan, kebutuhan investasi dalam transisi energi sangat besar.
Sehingga, dibutuhkan sinergi dan kolaborasi negara-negara ASEAN untuk mencapai ketahananan energi yang ramah terhadap lingkungan bisa diwujudkan di kawasan tersebut.
Baca juga: ASEAN Mau 100 Persen Transisi Energi Terbarukan? Butuh Duit 29,4 Triliun Dolar AS
Berdasarkan data the International Renewable Energy Agency (IRENA), kebutuhan dana agar bauran Energi Baru Terbarukan (EBT) di ASEAN mencapai 100 persen di 2050 adalah sebesar 29,4 triliun dolar AS.
Investasi sebesar itu diperuntukkan untuk pengembangan pembangkit listrik EBT, penyediaan jaringan transmisi listrik, biofuel, pengembangan ekosistem kendaraan listrik.
Arifin melanjutkan, ada beberapa skenario pendanaan yang bisa diterapkan misalnya blended finance.
"Bentuknya bisa bermacam-macam, seperti hibah, pinjaman lunak dengan persyaratan yang menguntungkan, dan investasi bersama," kata Arifin dalam keterangannya, dikutip Kamis (24/8/2023).
Kemudian bisa juga melalui Public-Private Partnerships yaitu kolaborasi antara pemerintah swasta.
Lalu selanjutnya adalah dengan memanfaatkan International Funding seperti dana-dana perubahan iklim yang bisa digunakan untuk pengembangan potensi sumber daya energi bersih.
Lebih lanjut, Arifin menjelaskan wilayah Asean harus menjadi wilayah yang kondusif bagi para investor untuk berinvestasi melalui dukungan dalam kebijakan fiskal, seperti insentif pajak untuk mendorong investasi dalam energi terbarukan proyek energi dan teknologi hemat energi.
Para negara ASEAN juga harus memiliki kerangka kebijakan yang jelas termasuk dalam penyusunan regulasi energi jangka panjang.
"Transparansi Prosedur Investasi seperti termasuk dalam proses perizinan melalui sistem online dapat meningkatkan minat investor," ungkap Arifin.
Ia menyatakan transisi energi tetap membutuhkan energi fosil. Untuk itu penerapan teknologi Carbon Capture Utilization and Storage (CCUS) menjadi kunci penting, karena bagi negara ASEAN perkembangan industri sangat penting.
Teknologi CCUS sangat penting untuk mitigasi emisi karbon dari industri yang menantang untuk didekarbonisasi termasuk industri minyak dan gas," ujar Arifin.
Indonesia termasuk negara yang memiliki kapasitas CO2 storage yang besar. Sejauh ini tercatat kapasitasnya mencapai 12 miliar ton. Saat ini, 15 proyek CCS/CCUS yang sedang digarap atau sudah masuk tahap studi.
Dari sisi regulasi pemerintah Indonesia juga sudah mengantisipasi penerapan teknologi CCS/CCUS dengan diterbitkannya Peraturan Menteri ESDM Nomor 2 Tahun 2023 tentang Penyelenggaraan Penangkapan dan Penyimpanan Karbon, serta Penangkapan, Pemanfaatan dan Penyimpanan Karbon pada Kegiatan Usaha Hulu Migas.
Selain itu sekarang juga tengah disusun beleid yang mengatur penerapan CCS/CCUS tidak hanya bisa dilakukan di sektor migas.
Arifin pun mendorong agar dibentuk juga aturan main CCS/CCUS lintas negara.
"Aturan diperlukan untuk mengatur implementasi CCS Hubs di luar wilayah kerja migas, dan terbuka transportasi lintas batas memungkinkan emisi lintas negara," pungkas Arifin.