Kemenkeu Klaim Tarif Cukai Tinggi Pada Minuman Berpemanis untuk Kendalikan Dampak Kesehatannya
Pengenaan tarif cukai tinggi pada minuman berpemanis adalah demi mengendalikan efek samping dari konsumsi minuman manis.
Penulis: Nitis Hawaroh
Editor: Choirul Arifin
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Nitis Hawaroh
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Direktur Komunikasi dan Bimbingan Pengguna Jasa DJBC Nirwala Dwi Heryanto mengungkapkan, pengenaan tarif cukai tinggi pada minuman berpemanis adalah demi mengendalikan efek samping dari konsumsi minuman manis.
Menurut Nirwala, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dalam hal ini mendukung program kesehatan yang digalakkan oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes). Utamanya dari sisi fiskal.
"Karena kan apa sih tujuannya pengenaan cukai? Kan untuk mengendalikan konsumsi terhadap barang-barang yang menimbulkan eksternalitas negative kan. Jadi pengenaan cukai itu merupakan dukungan Kemenkeu terhadap program kesehatan," kata Nirwala kepada wartawan di Kanwil DJBC Jawa Timur, Rabu (13/9/2023).
Nirwala bilang, pemberian tarif cukai tinggi pada minuman berpemanis itu juga untuk meminimalisir terjadinya kasus obesitas ditengah masyarakat Indonesia.
"Kalau minuman berpemanis itu Kemenkeu sesuai dengan tusi mendukung program Kemenkes. Efek-efek tadi kan misalnya, menyebabkan obesitas, diabetes melitus yang tipe 2 karena pola konsumsi kan," ujar dia.
"Demikian juga misalnya kayak minuman berpemanis tadi, fungsinya Kemendikbud ya mendidik anak-anak kan ‘Hey jangan konsumsi gula berlebihan’. Jadi kan ga mungkin Kemenkeu ikut campur ke Kemendikbud," imbuhnya.
Namun, Nirwala juga mengatakan bahwa kebijakan ini masih perlu di konsultasikan dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) terkait pungutan cukai terhadap minuman berpemanis.
"Jadi itu ya tentunya dalam menentukan mekanisme segala macam, ingat bahwa cukai itu kan pungutan ya. Kan berarti harus dikonsultasikan ke DPR dalam hal ini komisi XI, setiap pungutan harus dikonsultasikan," ungkapnya.
Baca juga: Bea Cukai Musnahkan Barang Ilegal di Jawa Timur, Rugikan Negara Rp 10 Miliar
Sebelumnya, mengutip Kontan Kementerian Keuangan memberikan sinyal akan mulai mengenakan cukai minuman bermanis dalam kemasan (MBDK) pada tahun 2024. Untuk itu, minuman dengan kadar gula yang lebih tinggi akan dikenakan tarif cukai yang lebih tinggi pula.
Pelaksana di Direktorat Teknis dan Fasilitas Cukai Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan, Boy Riansyah mengatakan, sejatinya pengenaan cukai ini mempertimbangkan keberlangsungan industri dengan konsep tarif yang didesain untuk memancing industri melakukan reformulasi produknya.
Untuk itu, konsep tarif cukai yang akan dikenakan pada minuman berpemanis dalam kemasan ini akan tergantung dari kandungan gula atau berpemanisnya. Semakin tinggi kadar gulanya, maka pemerintah akan mengenakan tarif cukai yang lebih tinggi pula.
Baca juga: Bea Cukai Jawa Timur Incar Penerimaan Rp 149,89 Triliun di 2023
"Jadi ketika minuman tersebut lebih tinggi kadar gulanya atau kadar pemanisnya, maka tarif cukai akan dikenakan tarif yang lebih tinggi," ujar Boy dalam Sosialisasi CEFU, dikutip Senin (31/7).
Boy mengatakan, pengenaan tarif cukai tersebut sejalan dengan dampak yang diberikan dari produk berkadar gula tinggi tersebut. Pasalnya, semakin tinggi kadar gula dari produk minuman tersebut, maka semakin berbahaya pula bagi kesehatan.
"Sehingga tidak salah apabila produk-produk yang kadar gandungan gula atau pemanis lebih tinggi itu dikenakan tarif cukai yang lebih tinggi," katanya.
Menurutnya, hal ini bertujuan agar memancing industri untuk melakukan reformulasi produknya dengan kadar gula yang lebih rendah sehingga lebih sehat untuk dikonsumsi oleh masyarakat luas.
Sebagai informasi, rencana penerapan cukai berpemanis ini telah masuk dalam Kebijakan Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM-PPKF) 2024. Untuk itu, pembahasannya masih akan terus dilakukan bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI.
Asal tahu saja, pemerintah sudah mematok pendapatan dari cukai plastik sebesar Rp 980 miliar dan pendapatan dari cukai berpemanis sebesar Rp 3,08 triliun. Untuk itu, total penerimaan dari kedua pos tersebut adalah Rp 4,06 triliun.
Adapun, kedua target tersebut tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) RI Nomor 130/2022 tentang Rincian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun anggaran 2023.