Indonesia Mampu Hadapi Kontraksi Ekonomi Dunia, Dua Faktor Ini Kuncinya
Ekonomi global sedang mengalami ketidakpastian akibat pengaruh kebijakan suku bunga The Fed, kenaikan harga minyak dunia, serta efek perang Rusia
Penulis: Abdul Qodir
Editor: Hendra Gunawan
TRIBUNNEWS.COM - Ekonomi global sedang mengalami ketidakpastian akibat pengaruh kebijakan suku bunga The Fed, kenaikan harga minyak dunia, serta efek perang berkepanjangan Rusia dan Ukraina.
Ini karena harga minyak sedang naik, salah satunya minyak mentah berjangka Brent menjadi 92,06 dolar AS per barel atau naik sekitar 1,42 dolar AS. Sementara The Fed diproyeksikan akan tetap mempertahankan suku bunga pada kisaran 5,25-5,50 persen.
Terlebih, imbas perang Rusia-Ukraina masih memaksa suplai komoditi menjadi lebih terbatas.
Baca juga: Singapura Pangkas Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi 2023 Meski Berhasil Terhindar dari Jurang Resesi
Peneliti dari Pusat Ekonomi Makro dan Keuangan INDEF, Abdul Manap Pulungan mengatakan, gejolak ekonomi dunia itu memberikan pengaruh berbeda di tiap negara, termasuk Indonesia. Seperti dalam kenaikan harga minyak dunia.
“Misalnya di Amerika, tentu itu akan berbeda dengan Inggris dan Eropa. Amerika hanya bermasalah di inflasi, sementara di sisi tingkat pengangguran, Amerika terbilang cukup bagus sehingga tekanan dari harga minyak global ini akan relatif minor bagi Amerika.
Tetapi bagi negara yang situasinya berbeda seperti Inggris dan negara-negara Eropa lainnya, tentu dampaknya akan lebih terasa karena negara-negara tersebut memiliki masalah tingkat inflasi yang tinggi dan juga pengangguran yang tinggi,” ujarnya dalam talkshow bertemakan “Outlook Ekonomi Dunia dan Pengaruhnya Bagi Indonesia” di Jakarta, dikutip Kamis (14/9/2023).
Meski begitu, lanjut Abdul, kenaikan harga minyak tersebut bukanlah faktor satu-satunya yang mendorong terjadinya gejolak ekonomi global, namun terdapat faktor lain yang menyertainya, yakni perang Rusia-Ukraina.
"Saya melihat kenaikan harga minyak ini sebetulnya temporer saja, tidak akan signifikan seperti tahun 2022,” ujarnya.
Sementara terkait kebijakan suku bunga The Fed, bahwa bank sentral AS itu memiliki pengaruh yang kuat untuk mengubah situasi ekonomi global.
“Ketika The Fed mengubah suku bunganya tentu akan diikuti oleh negara lain. The Fed adalah leader di pasar keuangan global. Jadi, apa yang dilakukan The Fed umumnya akan diikuti oleh bank sentral lainnya, karena The Fed menjadi benchmark bagi negara-negara lain untuk suku bunganya. Oleh karena itu, ada istilah ketika The Fed bersin maka negara-negara lain akan mabok,” tuturnya.
Baca juga: Ekonomi Menguat di Kuartal II 2023, Singapura Terhindar dari Jurang Resesi
Nasib Ekonomi Indonesia
Abdul meyakini Indonesia akan mampu melewati situasi dari gejolak tersebut, mengingat Indonesia pernah melewati situasi tekanan ekonomi yang lebih sulit.
Hanya saja, Indonesia perlu melakukan penyesuaian secara mendalam dan melakukan langkah-langkah strategis agar turbulensi ekonomi dunia tidak mendorong hal terburuk terjadi di tingkat domestik.
“Saya melihat, Indonesia cenderung siap menghadapi gejolak ekonomi global saat ini. Karena Indonesia sudah pernah melewati situasi yang lebih buruk dari itu. Tinggal bagaimana kita melakukan penyesuaian internal dari kenaikan harga minyak itu. Sebenarnya sudah banyak wacana-wacana yang berkembang terkait bagaimana meningkatkan diversifikasi produksi yang tidak hanya terbatas pada bahan-bahan mentah seperti minyak, tetapi bisa shifting ke energi terbarukan,” ujarnya.
Abdul menekankan, mesti ada kebijakan strategis untuk menekan negara-negara produsen minyak, agar kedepan pembatasan produksi minyak dunia dapat dikontrol sebagaimana mestinya. Terlebih di dalam negeri, kenaikan harga minyak dunia tersebut tentu dapat mendorong pemerintah Indonesia dalam menaikan harga BBM.