Indonesia Mampu Hadapi Kontraksi Ekonomi Dunia, Dua Faktor Ini Kuncinya
Ekonomi global sedang mengalami ketidakpastian akibat pengaruh kebijakan suku bunga The Fed, kenaikan harga minyak dunia, serta efek perang Rusia
Penulis: Abdul Qodir
Editor: Hendra Gunawan
Hal tersebut dapat dilakukan demi merawat fiskal agar tetap defisit dibawah 3 persen.
Sementara itu, Founder Tumbuh Makna, Muliadi San, menganalisis lebih jauh mengenai kekuatan ekonomi Indonesia.
Ia menjelaskan, dalam konteks pertumbuhan ekonomi Indonesia, khususnya dalam perkembangan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), masih dapat dikategorikan tergolong cukup stabil dalam merespons gejolak ekonomi dunia yang terjadi belakangan ini.
“Saya melihat valuasi IHSG kita cenderung atraktif. Kami telah mengumpulkan data di berbagai tahun. Berdasarkan data dari 2013 sampai 2022, pada bulan September itu, IHSG ada di zona merah sebanyak 6 tahun dari 10 tahun. Artinya adalah di bulan September, IHSG itu kecenderungannya mengalami koreksi. Sementara di bulan Oktober, IHSG kita selama 8 tahun ada di zona hijau, dan hanya 2 tahun berada di zona merah. Jadi probabilitasnya di bulan Oktober IHSG itu mengalami kenaikan. Secara statistik hal ini cukup menarik untuk pasar saham kita di sisa bulan semester II 2023,” jelasnya.
Oleh karena itu, menurutnya, terdapat peluang yang baik di sisi ekonomi yang lain di Indonesia. Keadaan tersebut, justru bisa dimanfaatkan dengan baik dan rasional oleh berbagai investor.
Namun, ia mengingatkan, para investor harus memahami profil risiko masing-masing sebelum mengambil keputusan melakukan investasi.
Contohnya, dengan melakukan strategi pendekatan profil risiko agar dapat melakukan investasi secara kondusif dan aman.
“Saya melihat untuk 12 bulan ke depan tentunya sentimen pasar akan lebih kondusif dan konstruktif. Sisi kondusif disini terlihat karena adanya faktor risiko perubahan moneter dan fiskal yang akan lebih minim. Jadi pertimbangan sektor dan kelas aset yang lebih diuntungkan untuk diterapkan di portofolio akan lebih mudah diprediksi.
Sementara, untuk sisi konstruktif memiliki arti bahwa akan ada hal yang baik dan prospektif di dalam sektor IHSG. Ini terlihat karena pertumbuhan laba perusahaan-perusahaan yang ada di Indonesia masih cukup positif. Itu yang membuat kami bertahan dengan pandangan bahwa IHSG masih berpotensi mencapai level 7.400, dengan pertimbangan EPS growth di angka 9-10 persen,” paparnya.
Ia menambahkan, obligasi dengan durasi tenor menengah bisa menjadi pilihan yang tepat bagi para investor, karena itu salah satu pilihan yang menarik pada tahun 2024.
Sementara untuk investor yang cenderung konservatif, bisa melihat peluang pada Sukuk Ritel 019 yang telah diterbitkan Kementerian Keuangan yang dapat membantu progres kegiatan investasi dan mendorong pemerintah melakukan perkembangan ekonomi nasional.
“Jika melihat data-data yang ada, tentu saya sangat optimis dengan saat ini, khususnya dengan obligasi-obligasi yang tenornya menengah sehingga dapat menjadi satu pilihan menarik bagi para investor,” ujarnya.