Tolak Gugatan Uji Formil UU Cipta Kerja, Partai Buruh: MK Jilat Ludah Sendiri dan Tak Konsisten
Presiden Partai Buruh Said Iqbal mengatakan Mahkamah Konstitusi menjilat ludahnya sendiri setelah menolak gugatan uji formil UU Cipta Kerja.
Penulis: Danang Triatmojo
Editor: Choirul Arifin
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Danang Triatmojo
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Presiden Partai Buruh Said Iqbal mengatakan Mahkamah Konstitusi (MK) menjilat ludahnya sendiri setelah menolak gugatan uji formil UU Nomor 6/2023 tentang Penetapan Perppu Nomor 2/2023 tentang Cipta Kerja menjadi UU yang diputus pada Senin (2/10/2023) kemarin.
Said Iqbal mengatakan, MK sebelumnya menganulir dan menyatakan inkonstitusional bersyarat UU Cipta Kerja lewat putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020.
"MK ini menjilat ludahnya sendiri, menganulir keputusan Keputusan MK nomor 91 tahun 2020 yang menyatakan inkonstitusional bersyarat," kata Said Iqbal dalam konferensi pers secara daring, Selasa (3/10/2023).
Namun dalam putusan perkara nomor 50/PUU-XXI/2023 ini diajukan Partai Buruh diwakili Said Iqbal selaku Presiden Partai buruh dan Ferri Nuzarli sebagai Sekjen Partai Buruh, MK justru menolak gugatan uji formil tersebut.
"Hari ini berubah. MK inkonsistensi pada putusannya," ungkapnya.
Sebagai informasi, MK sebelumnya menolak gugatan uji formil yang diajukan Partai Buruh terhadap UU Nomor 6/2023 tentang Penetapan Perppu Nomor 2/2023 tentang Cipta Kerja menjadi UU.
Salah satu dalil Pemohon yakni pembentukan UU 6/2023 dinilai tidak sesuai Pasal 1 ayat (2) dan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, karena produk hukum berupa Perppu tidak dimungkinkan disusun menggunakan metode omnibus karena tidak melalui prosedur perencanaan.
Baca juga: UU Cipta Kerja Layak Ditolak, Bikin Buruh Jadi Tenaga Outsourcing Seumur Hidup
Menjawab ini, MK mengatakan pada dasarnya pembentukan UU 6/2023 bukan UU yang dibentuk menggunakan proses atau prosedur biasa lantaran UU tersebut merupakan produk yang berasal dari RUU penetapan Perppu menjadi UU.
Sehingga, pembentukan UU 6/2023 tidak dapat dilepaskan dari pembentukan Perppu 2/2022.
Hakim Konstitusi Arief Hidayat menjelaskan bahwa DPR menilai telah memenuhi syarat kegentingan yang memaksa untuk penetapan Perppu 2/2022. Atas hal ini, dalil Pemohon soal UU dimaksud tidak memenuhi kriteria kegentingan memaksa tidak beralasan menurut hukum.
"Lahirnya Perppu memang tidak melalui tahapan perencanaan sebab Perppu dibuat jika dan hanya jika terdapat unsur kegentingan yang memaksa yang secara faktual tidak setiap saat unsur tersebut ada," jelas Arief.
Baca juga: 4 Hakim Dissenting Opinion, MK Putus UU Cipta Kerja Konstitusional
Dengan demikian lanjutnya, UU yang berasal dari Perppu tidak akan dicantumkan dalam dokumen perencanaan sebagaimana diatur Pasal 42A UU13/2022. Hal ini menurut Mahkamah, berbeda dengan UU biasa yang harus direncanakan terlebih dulu dalam program legislasi nasional.
Selain itu terkait metode UU omnibus, MK menilai baik UUD 1945 maupun UU 13/2022 tidak mengatur soal batasan materi apa saja atau bentuk UU apa saja yang tak dapat dibuat dalam bentuk Perppu.
"Pasal 7 dan Pasal 11 UU 12/2011 juga menegaskan bahwa Perppu baik dari segi kedudukannya maupun segi materi muatannya sederajat dengan undang-undang," lanjut Arief.
Baca juga: Partai Buruh Akan Laporkan 5 Hakim yang Menyatakan UU Cipta Kerja Konstitusional ke MKMK
MK menyatakan, pembentukan Perppu dan materi apa saja yang akan diatur dalam Perppu merupakan hak prerogatif Presiden dalam rangka menghadapi kondisi kegentingan.
Terlebih DPR juga telah menyatakan Perppu tersebut memenuhi syarat kegentingan yang memaksa.
"Hal ini bukanlah pelanggaran terhadap prinsip negara hukum dan tidak melanggar perwujudan kedaulatan rakyat yang dilaksanakan berdasarkan UUD 1945," kata Arief.
Dalam konklusinya MK menyatakan pokok permohonan Pemohon tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.