Konflik Geopolitik Dunia Terus Memanas, Bagaimana Peluang Sektor Investasi di Indonesia?
Saat sejumlah negara sedang mengalami permasalahan inflasi, ketegangan politik di kawasan memicu permasalahan lainnya.
Penulis: Abdul Qodir
Editor: Hendra Gunawan
“Perlu diketahui, 50 persen dari pertumbuhan ekonomi itu berasal dari konsumsi rumah tangga, sisanya dari investasi, kemudian ekspor dan impor. Untuk itu, kita harus menjaga daya beli masyarakat dan menjaga stabilitas harga komoditas,” ujarnya.
Sementara itu, Co-Founder Tumbuh Makna Benny Sufami, memiliki penilaian serupa bahwa dinamika yang terjadi justru membuahkan peluang. Salah satunya pada sektor investasi.
Menurutnya, para investor pasti melihat efek global yang saat ini terjadi. Contohnya, pada aset kelas fixed income, yang disebut paling sensitif terhadap perubahan tingkat suku bunga, justru bisa menghadirkan kesempatan bagi pelaku investasi.
“Tingkat US treasury yield kemungkinan sudah hampir mendekati puncak atas siklus pengetatan tingkat suku bunga yang dilakukan oleh bank sentral AS.
Sebagai contoh saat ini tingkat imbal hasil US treasury tenor dua tahun berada di level yang lebih tinggi dari pada imbal hasil US treasury dengan dengan tenor yang lebih panjang yakni 10 tahun dan 30 tahun.
Di minggu lalu US treasury yield 2 tahun telah berada di atas kisaran 5,1 persen sementara yang 10 tahun masih sedikit di bawah 5 persen yakni sekitar 4,9 persen, dimana kondisi tersebut kita kenal dengan istilah Inverted Yield Curve,” tambahnya.
Kondisi yang terjadi saat ini, menurut Benny, juga merupakan salah satu indikasi awal akan terjadinya resesi, walaupun resesi yang ada kemungkinan cenderung ringan. Bahkan terdapat kemungkinan AS bisa menghindari resesi dan melakukan soft landing.
“Terlepas dari terjadinya resesi maupun soft landing, biasanya ekonomi cenderung akan cooling down yang biasanya berdampak positif terhadap kelas aset pendapatan tetap dimana tingkat imbal hasil akan cenderung menurun,” tuturnya.
Menurut Benny, kelas aset ekuitas ke depan akan cukup menantang di tengah kondisi tingkat imbal hasil obligasi yang cukup tinggi saat ini sehingga membuat ekspektasi investor atas risk premium dari kelas aset ekuitas akan lebih tinggi.
“Antisipasi yang sama juga berlaku di pasar domestik kita, apalagi dengan melihat tingkat imbal hasil terakhir SBN tenor 10 tahun telah mencapai 7 persen. Ini bisa dimanfaatkan dengan baik,” ujarnya.
Lebih lanjut ia menjelaskan, dalam 12 bulan ke depan, kelas aset ekuitas diperkirakan laba per sahamnya atau earning per share (EPS) dari IHSG akan tumbuh 5 hingga 6 persen dan bisa diperdagangkan pada price earning (PE) 14,6 kali.
“Maka IHSG, menurut kami, masih sangat berpeluang untuk mencapai level 7700 hingga akhir kuartal III 2024. Dan pada akhir tahun ini, berdasarkan riset yang kami lakukan, kami telah melihat bahwa ada kecenderungan IHSG akan tumbuh terbatas, sehingga kami menyarankan investor perlu memiliki time horizon yang lebih panjang,” imbuhnya.
Meski demikian, investor harus cermat dalam melakukan investasi. Salah satunya, untuk melek terhadap literasi keuangan dan mengedepankan data valid.
“Pertama, mendiversifikasi ke lebih satu instrumen per kelas aset. Kedua, investor disarankan memiliki time horizon yang lebih panjang dalam menganalisis dengan data yang tepat. Ketiga, berinvestasi sesuai dengan profil risiko masing-masing,” tutupnya.