Debitur Berisiko Digugat Perdana Jika Hasil Lelang Agunan Tak Bisa Lunasi Sisa Utang
Program restrukturisasi kredit terkait pandemi Covid-19 akan berakhir pada Maret 2024 kata Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK)
Penulis: Choirul Arifin
Editor: Hendra Gunawan
Laporan Wartawan Tribunnews, Choirul Arifin
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Program restrukturisasi kredit terkait pandemi Covid-19 akan berakhir pada Maret 2024. Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Mahendra Siregar dalam Rapat Kerja dengan Komisi XI DPR RI, di Gedung DPR RI, Jakarta, memastikan pemberhentian tersebut.
Terkait hal itu, sejumlah bank besar dan plat merah telah memperkuat pencadangan mereka.
Pengamat Perbankan, Paul Sutaryono mengatakan, bank harus mulai dari sekarang menyiapkan cadangan sesuai dengan kolektibilitas kredit yang direstrukturisasi. Jumlah cadangan sangat tergantung besar kecilnya bank dan jumlah nasabah yang direstrukturisasi.
Baca juga: BI: Kredit Perbankan Melambat Jadi 8,9 Persen di September 2023
Jika bank besar bisa memperkuat pencadangannya, tidak demikian dengan bank-bank kecil. Kredit macet masih membayangi. Perbaikan kualitas kredit ini menjadi pekerjaan rumah bagi bank yang masih mencatatkan rasio NPL di atas 5 persen.
Kredit macet datang, terutama dari debitur nakal, yang rata-rata mengambil kredit komersial. Selain itu, bencana wabah Covid-19 membuat banyak pemilik usaha terpaksa gulung tikar, para pemilik usaha yang sudah terlanjur berhutang kepada Bank, tidak lagi mampu untuk membayar ataupun melunasinya.
Resktrurisasi sempat diperpanjang dua kali, hingga 31 Maret 2023 dan kemudian diperpanjang lagi hingga Maret 2024. OJK memutuskan memperpanjang periode restrukturisasi kredit dengan pertimbangan bahwa debitur memerlukan waktu lebih panjang untuk pulih dari dampak Covid-19.
Selain itu, tujuan pemerintah memberikan relaksasi agar tidak terjadi non performing loan (NPL) secara massif yang pada akhirnya akan berdampak sistemik pada kesehatan perbankan itu sendiri.
Kredit macet menjadi momok yang menakutkan bagi perbankan. Hingga Agustus 2023, kinerja perbaikan kredit macet tercatat lebih baik dari tahun lalu. Rasio NPL gross tercatat turun 38 basis poin (bps) pada Agustus 2023, sementara NPL nett stabil pada level 0,79 persen.
Para debitur setelah periode relaksasi rektrurisasi kredit, karena jumlah hutangnya membengkak akibat penundaan pembayaran, maka bisa dipastikan jumlah hutang lebih besar dari nilai agunannya.
Dampaknya dirasakan oleh perbankan yang berhadapan langsung dengan risiko kerugian finansial yang signifikan. Perbankan mengalami hambatan pertumbuhan bisnis dan modal tergerus.
Paul Sutaryono mengatakan, UU Nomor 4 Tahun 2023 memang memberikan perluasan kewenangan pendidikan dan penyelesaian pelanggaran di sektor jasa keuangan. Tetapi titah UU itu sudah barang tentu tidak akan langsung berlaku.
Baca juga: Bocoran 6 Program Unggulan Prabowo dan Gibran di Pilpres 2024: Dana Abadi Pesantren, Kredit Start Up
Bagi debitur yang tidak bisa melunasi utangnya, maka jaminan atau agunan yang diberikan saat melakukan akad kredit akan dilelang oleh pihak Bank. Sebagaimana termuat dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah milik, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lain.
Namun, bagaimana jika ternyata jaminan tersebut tak cukup untuk melunasi hutang? Lantaran setelah periode relaksasi rektrurisasi kredit, jumlah hutangnya membengkak akibat penundaan pembayaran, maka bisa dipastikan jumlah hutang lebih besar dari nilai agunannya.