Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribunners
Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.


Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Tribunners / Citizen Journalism

Merger Operator Telekomunikasi Terganjal Gengsi

Menurut mereka, urusan merger merupakan domain pemegang saham, Kelompok Axiata Malaysia dan Kelompok Sinar Mas, buka urusan manajemen.

Editor: Hendra Gunawan
zoom-in Merger Operator Telekomunikasi Terganjal Gengsi
Dokumentasi XL Axiata
Ilustrasi: Teknisi jaringan XL Axiata bekerja di atas menara BTS di dekat Stadion Gelora Bung Tomo, Kota Surabaya, awal pekan ini. XL Axiata telah melakukan penguatan jaringan untuk menyukseskan Piala Dunia U-17 Indonesia. Penguatan dilakukan antara lain berupa penambahan kapasitas BTS (base transceiver station) yang menyasar pada sekitar 16 ribu BTS (2G/4G) di empat kota. 

Oleh Moch S Hendrowijono *)

ISU mengenai “perkawinan” antara XL Axiata dan Smartfren makin kencang, mulai meyakinkan publik bahwa merger – penggabungan – antara dua operator itu memang akan kejadian. Dirjen IKP Kementerian Kominfo, Usman Kasong malah memastikan, petinggi dari kedua entitas itu masing-masing sudah bertemu dengan Menkominfo Budi Arie Setiadi, beberapa waktu lalu.

Namun, presiden direktur kedua operator, Dian Siswarini Presdir dan CEO XL Axiata dan Merza Fachys Presdir Smartfren Telecom, sama-sama menolak memberi konfirmasi. Menurut mereka, urusan merger merupakan domain pemegang saham, Kelompok Axiata Malaysia dan Kelompok Sinar Mas, buka urusan manajemen.

Apa pun, belum lama ini muncul kabar bahwa sudah ada kesepakatan tentang valuasi Smartfren yang di bawah harga Rp 50 per saham. Angkanya jauh dari angka pasar berdasarkan transaksi yang dilakukan PT DSSA, Dian Swastika Sentosa Tbk, emiten kelompok Sinar Mas, yang pada pertengahan September lalu menjual 30,5 miliar saham dengan harga Rp 79 per saham, senilai Rp 2,4 triliun.

Baca juga: Telkomsel Gandeng AWS untuk Percepatan Transformasi Digital

Harga saham pada angka Rp 79 atau bahkan pada kesepakatan valuasi yang Rp 50/saham, jauh sekali dari “lawan” mereka, XL Axiata (10/11) lalu yang harga sahamnya bertengger di angka Rp 2.200. Padahal dalam setiap transaksi merger, valuasi akan menjadi patokan untuk menempatkan salah satunya sebagai pemimpin (mayoritas).

Misalnya dalam proses merger antara Indosat dan 3 (Hutchison Tri Indonesia) akhir 2021 yang membentuk Indosat Ooredoo Hutchison (IOH) ada proses top up sebesar 6 miliar dollar AS atau sekitar Rp 90 triliun. Proses ini membuat kedua perusahaan disatukan sebagai Ooredoo Asia, yang kemudian menguasai mayoritas dengan 65,64 persen saham IOH. Sisanya dikuasai Pemerintah RI lewat Perusahaan Pengelola Aset (PPA) 9,63 persen, PT Tiga Telekomunikasi Indonesia (TTI) 10,77 persen, Dani Buldansyah 0,003% dan masyarakat 13,95%.

Pada penetapan sehari sebelumnya, 4 Januari 2022, susunan pemegang saham adalah Ooredoo Asia 43,81%, Hutchison Asia 21,65%, PPA 9,63%, TTI 10,77%, Dani Buldansyah 0,003%, sisanya 13,95% masyarakat.

XL Axiata keukeuh

Berita Rekomendasi

Di luar berapa dan siapa pemilik-pemilik saham, merger membuat operator baru tadi berkibar. Merger terbukti meningkatkan pendapatan Indosat Ooredoo Hutchison (IOH) pada semester pertama 2022 menjadi Rp 46,8 triliun dari target sekitar Rp 41 triliun, dengan laba Rp 2,66 triliun.

Padahal sebelumnya, baik Indosat Ooredoo maupun Hutchison Tri, tidak pernah meraih laba yang siginfikan, bahkan Indosat Ooredoo beberapa kali menderita rugi. Merger memang akan membawa banyak penghematan, efisiensi, misalnya mengurangi duplikasi penggunaan teknologi radio, duplikasi SDM, biaya operasi Opex – operation expenditure dan biaya modal, Capex (capital expenditure).

Yang tadinya tiap operator membangun satu radio BTS (base transceiver station) di satu titik, kini cukup satu, dan sebagainya, demikian juga kantor dan biaya pegawai. Walau ada efek lainnya, besar kemungkinan terjadinya pengunduran diri karyawan atau pensiun dini (pendi setelah proses merger selesai.

Bagi XL Axiata dan Smartfren, sebetulnya merger akan menjadi satu proses alamiah, menyongsong masa depan industri telekomunikasi yang makin efisien dan menghadapi tantangan yang makin besar. Saat ini tantangan besar adalah beroperasinya OTT (over the top).

Baca juga: Mitratel: Rencana Elon Musk Masuk Indonesia Tak Ganggu Bisnis Telko yang Sudah Ada

OTT seperti Google menjual iklan menggunakan fasilitas infrastruktur operator tetapi hanya menjalar saja. Mereka tidak mengambil sedikit pun jasanya atau frekuensinya, sehingga tidak merasa perlu memberi bagian keuntungan kepada operator.

Kini pun, bisnis legacy operator yang memperdagangkan spektrum frekuensi tidak lagi bisa dipertahankan tanpa memberi embel-embel konten. Muncul layanan FMC (fixed mobile convergence) untuk menggaet pelanggan sebanyak mungkin dengan layanan-layanan yang lebih menguntungkan, yang sudah dilakukan oleh Telkomsel (IndiHome), XL Axiata (XL Satu) dan Indosat yang menggabungkan layanan seluler dengan WiFi.

Berbagai pendapat mengatakan, dalam rencana merger dengan Smartfren, kelompok Axiata akan keukeuh berperan sebagai pemegang saham pengendali, seperti saat ini 65% di XL Axiata. Lalu kira-kira Sinar Mas harus memasukkan modal (top up) berapa untuk mengimbangi Axiata, karena tanpa itu porsi mereka akan sangat kecil.

Ke Telkomsel atau IOH

Pelanggan XL Axiata 58 juta, Smartfren 34 juta, XL punya BTS 170.000 lebih, Smartfren 43.000, capex XL tahun ini Rp 8 triliun, Smarfren Rp 3 triliun. Pendapatan XL pada semester 1 tahun ini Rp 15,76 triliun laba Rp 650 miliar, Smartfren Rp 2,79 triliun, rugi Rp 163,23 miliar.

Tampaknya terlalu besar bagi Smartfren untuk menombok agar bisa mengimbangi XL dan menjadi mayoritas, walau kekayaan Kelompok Sinar Mas boleh dikata tidak bisa dihitung saking banyaknya. Akhirnya, ini tampaknya menjadi lebih ke soal gengsi.

Jumlah spektrum frekuensi keduanya jika digabung – tanpa pemerintah tega ambil sebagiannya seperti akusisi XL Axiata ke Axis atau merger IOH – selebar 56 MHz di FDD (frequency division duplexing) X 2 = 112 MHz dan 40 MHz di TDD (time division duplexing). Bandingkan dengan IOH yang punya 135 MHz FDD saja, Telkomsel 145 MHz FDD dan 50 MHz TDD.

Mestinya Menkominfo tidak hanya “memaksa” XL Axiata dan Smartfren merger. Kenapa tidak keduanya disuruh merger dengan IOH atau Telkomsel, sehingga industri jauh lebih efisien dan kompetitif dengan 2 operator?

Merger efisien mengurangi jumlah pelanggan seluler. Saat ini dengan jumlah penduduk sebanyak 287 juta, ada 346,7 juta kartu SIM aktif, atau seorang rata-rata punya 1,2 kartu SIM dari operator yang berbeda.

Jumlah kartu beredar yang sebagian tidak aktif membuat pendapatan operator tidak optimal. Telkomsel belum lama ini menghapuskan kartu yang tidak aktif dan jumlah pelanggan mereka turun dari 170 juta menjadi 153 juta, tetapi efeknya ARPU (average revenue per user – pendapatan rata-rata dari per pelanggan) naik.

*) Moch S Hendrowijono, mantan editor Harian Kompas, pengamat telekomunkasi dan transportasi.

Tribunners merupakan jurnalisme warga, dimana warga bisa mengirimkan hasil dari aktivitas jurnalistiknya ke Tribunnews, dengan mendaftar terlebih dahulu atau dikirim ke email redaksi@tribunnews.com
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas