Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Merger Operator Telekomunikasi Terganjal Gengsi
Menurut mereka, urusan merger merupakan domain pemegang saham, Kelompok Axiata Malaysia dan Kelompok Sinar Mas, buka urusan manajemen.
Editor: Hendra Gunawan
Oleh Moch S Hendrowijono *)
ISU mengenai “perkawinan” antara XL Axiata dan Smartfren makin kencang, mulai meyakinkan publik bahwa merger – penggabungan – antara dua operator itu memang akan kejadian. Dirjen IKP Kementerian Kominfo, Usman Kasong malah memastikan, petinggi dari kedua entitas itu masing-masing sudah bertemu dengan Menkominfo Budi Arie Setiadi, beberapa waktu lalu.
Namun, presiden direktur kedua operator, Dian Siswarini Presdir dan CEO XL Axiata dan Merza Fachys Presdir Smartfren Telecom, sama-sama menolak memberi konfirmasi. Menurut mereka, urusan merger merupakan domain pemegang saham, Kelompok Axiata Malaysia dan Kelompok Sinar Mas, buka urusan manajemen.
Apa pun, belum lama ini muncul kabar bahwa sudah ada kesepakatan tentang valuasi Smartfren yang di bawah harga Rp 50 per saham. Angkanya jauh dari angka pasar berdasarkan transaksi yang dilakukan PT DSSA, Dian Swastika Sentosa Tbk, emiten kelompok Sinar Mas, yang pada pertengahan September lalu menjual 30,5 miliar saham dengan harga Rp 79 per saham, senilai Rp 2,4 triliun.
Baca juga: Telkomsel Gandeng AWS untuk Percepatan Transformasi Digital
Harga saham pada angka Rp 79 atau bahkan pada kesepakatan valuasi yang Rp 50/saham, jauh sekali dari “lawan” mereka, XL Axiata (10/11) lalu yang harga sahamnya bertengger di angka Rp 2.200. Padahal dalam setiap transaksi merger, valuasi akan menjadi patokan untuk menempatkan salah satunya sebagai pemimpin (mayoritas).
Misalnya dalam proses merger antara Indosat dan 3 (Hutchison Tri Indonesia) akhir 2021 yang membentuk Indosat Ooredoo Hutchison (IOH) ada proses top up sebesar 6 miliar dollar AS atau sekitar Rp 90 triliun. Proses ini membuat kedua perusahaan disatukan sebagai Ooredoo Asia, yang kemudian menguasai mayoritas dengan 65,64 persen saham IOH. Sisanya dikuasai Pemerintah RI lewat Perusahaan Pengelola Aset (PPA) 9,63 persen, PT Tiga Telekomunikasi Indonesia (TTI) 10,77 persen, Dani Buldansyah 0,003% dan masyarakat 13,95%.
Pada penetapan sehari sebelumnya, 4 Januari 2022, susunan pemegang saham adalah Ooredoo Asia 43,81%, Hutchison Asia 21,65%, PPA 9,63%, TTI 10,77%, Dani Buldansyah 0,003%, sisanya 13,95% masyarakat.
XL Axiata keukeuh
Di luar berapa dan siapa pemilik-pemilik saham, merger membuat operator baru tadi berkibar. Merger terbukti meningkatkan pendapatan Indosat Ooredoo Hutchison (IOH) pada semester pertama 2022 menjadi Rp 46,8 triliun dari target sekitar Rp 41 triliun, dengan laba Rp 2,66 triliun.
Padahal sebelumnya, baik Indosat Ooredoo maupun Hutchison Tri, tidak pernah meraih laba yang siginfikan, bahkan Indosat Ooredoo beberapa kali menderita rugi. Merger memang akan membawa banyak penghematan, efisiensi, misalnya mengurangi duplikasi penggunaan teknologi radio, duplikasi SDM, biaya operasi Opex – operation expenditure dan biaya modal, Capex (capital expenditure).
Yang tadinya tiap operator membangun satu radio BTS (base transceiver station) di satu titik, kini cukup satu, dan sebagainya, demikian juga kantor dan biaya pegawai. Walau ada efek lainnya, besar kemungkinan terjadinya pengunduran diri karyawan atau pensiun dini (pendi setelah proses merger selesai.
Bagi XL Axiata dan Smartfren, sebetulnya merger akan menjadi satu proses alamiah, menyongsong masa depan industri telekomunikasi yang makin efisien dan menghadapi tantangan yang makin besar. Saat ini tantangan besar adalah beroperasinya OTT (over the top).
Baca juga: Mitratel: Rencana Elon Musk Masuk Indonesia Tak Ganggu Bisnis Telko yang Sudah Ada
OTT seperti Google menjual iklan menggunakan fasilitas infrastruktur operator tetapi hanya menjalar saja. Mereka tidak mengambil sedikit pun jasanya atau frekuensinya, sehingga tidak merasa perlu memberi bagian keuntungan kepada operator.
Kini pun, bisnis legacy operator yang memperdagangkan spektrum frekuensi tidak lagi bisa dipertahankan tanpa memberi embel-embel konten. Muncul layanan FMC (fixed mobile convergence) untuk menggaet pelanggan sebanyak mungkin dengan layanan-layanan yang lebih menguntungkan, yang sudah dilakukan oleh Telkomsel (IndiHome), XL Axiata (XL Satu) dan Indosat yang menggabungkan layanan seluler dengan WiFi.
Berbagai pendapat mengatakan, dalam rencana merger dengan Smartfren, kelompok Axiata akan keukeuh berperan sebagai pemegang saham pengendali, seperti saat ini 65% di XL Axiata. Lalu kira-kira Sinar Mas harus memasukkan modal (top up) berapa untuk mengimbangi Axiata, karena tanpa itu porsi mereka akan sangat kecil.