Anies Kritik Realisasi Energi Baru Terbarukan Indonesia: Jauh dari Target
Anies Baswedan mengkritisi krisis iklim dan komitmen Indonesia terhadap transisi energi menjadi energi baru terbarukan (EBT).
Penulis: Reza Deni
Editor: Choirul Arifin
Laporan Reporter Tribunnews.com, Reza Deni
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Calon presiden (capres) nomor urut 1 Anies Baswedan mengkritisi krisis iklim dan komitmen Indonesia terhadap transisi energi menjadi energi baru terbarukan (EBT).
Salah satu yang disoroti Anies adalah jauhnya realisasi dengan komitmen Indonesia terhadap hal tersebut.
Mulanya, Anies menjelaskan bagaimana krisis lingkungan berdampak pada kelompok rentan yang perlu pendampingan, yakni masyarakat miskin, penyandang disabilitas lansia, perempuan-anak, dan masyarakat adat.
Anies mengatakan, Indonesia juga menyatakan komitmen terhadap transisi energi.
"Komitmen Indonesia ini luar biasa. Kita ikut pada Paris Agreement, yang menyepakati net zero emission pada 2060. Kemudian kita ikut juga dalam kolaborasi negara maju G20 tahun lalu yang target-targetnya sangat ambisius," kata Anies saat menjadi pembicara ada acara 'Rembuk Ide' yang digelar The Habibie Center di Hotel Le Méridien Jakarta, Kamis (23/11/2023).
Anies mencatat menurut draf Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional, posisi EBT harus mencapai angka 78 persen.
"Dan dalam komitmen kita di dalam JETP (Just Energy Transition Partnership) ini lebih besar lagi bahwa kita harus mencapai angka 100 persen dengan bantuan internasional," kata dia.
Anies mengamini komitmen tinggi tersebut, tetapi mempertanyakan realisasinya.
"Realisasinya justru jauh dari target. Kalau ditarik 3 sampai 5 tahun ke belakang, bauran EBT kita sedikit sekali naiknya, padahal kalau lihat target di 2025 kita ada target bauran EBT sebesar 23 persen berdasarkan kebijakan energi nasional, tapi 3 tahun ke belakang kita hanya naik 1 persen per tahun," kata dia.
Baca juga: Ekonom Ingatkan Pasal 33 UUD 1945 Jika Klausul Power Wheeling Masuk RUU EBT
Dalam catatan tersebut, Anies memaparkan target EBT pada 2020 yang sebesar 13,4 persen tetapi realisasinya hanya 11,2 persen.
Lalu pada 2021 dengan target 14,51 persen, tetapi realisasinya sebesar 12,2 persen, dan pada 2022 target EBT sebesar 15,3 persen dengan realisasi 12,3 persen.
Anies menilai sulit Indonesia mengejar target yang pada 2025 sebesar 23 persen.
Baca juga: Target EBT 2025 Sebesar 23 Persen Disebut Sulit Dicapai
"Karena itu makin sulit kita untuk mencapai target. Ini akan berat kalau kita berlari pelan lalu berharap sprint di ujing. Kalau maraton ya kecepatannya ditata sampai ke ujung," tandas Anies.
Calon Presiden Ganjar Pranowo dalam kesempatan berbeda di acara diskusi Rembuk Ide Transisi Energi Berkeadilan, di Jakarta, Kamis (23/11/2023) juga mengingatkan ada risikonya jika Indonesia melakukan transisi energi ke energi bersih atau energi baru terbarukan (EBT).
Dampak tersebut antara lain akan menimpa sektor bisnis energi di Indonesia.
Menurut Ganjar, strategi transisi energi akan membuat bisnis pengusaha di sektor energi dengan kadar emisi tinggi akan tertekan.
"Ketika transisi ini akan lakukan pasti akan ada dampak, yang negatif kira-kira yang punya bisnis atau usaha itu sebelumnya ya mungkin jobless (kehilangan pekerjaan)," kata dia.
Praktisi juga mengkritik: sulit capai target
Sulitnya pemerintah mencapai target bauran energi baru terbarukan (EBT) sebesar 23 persen pada 2025, karena minyak dan gas (migas) masih akan mendominasi juga disampaikan praktisi hukum migas Ali Nasir.
Ali Nasir mengatakan, sumber energi ada empat jenis yaitu minyak, gas, batubara, dan EBT. "Migas masih mendominasi bauran energi kita sampai 2050," kata Ali Nasir.
"Walaupun secara persentase dari tahun ke tahun turun, tapi secara volume meningkat," ujar Ari dalam webinar, Jumat (4/6/2021).
Ia menyebut, pada 2015 porsi migas dalam bauran energi nasional mencapai 70 persen dari 166 MTOE, dan 2025 porsi migas sebesar 47 persen dari 412 MTOE.
"Jadi kebutuhannya meningkat, jangan kecilkan migas, ini masih akan mendominasi dalam bauran energi baru terbarukan," tuturnya.
EBT harus didukung, tinggal 4 tahun lagi capai 13 persen pada 2025 yang targetnya 23 persen, dan sekarang baru 10 persen," sambungnya.
Dia berharap pemerintah dapat bekerja keras secara maksimal agar target 23 persen dapat dicapai. "Pemerintah harus all out untuk tercapai, tapi banyak pakar mengatakan akan sulit dicapai," ucap Ari.