Hilirisasi Perkebunan Hadapi Tantangan Diplomasi dari Uni Eropa, Ini Pendapat Ekonom IPB
Ujang Sehabudin mengatakan hilirisasi perkebunan menghadapi tantangan diplomasi dari negara-negara Uni Eropa terkait dengan isu lingkungan deforestasi
Penulis: Reynas Abdila
Editor: Hendra Gunawan
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Reynas Abdila
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ekonom dari IPB University Ujang Sehabudin mengatakan hilirisasi perkebunan menghadapi tantangan diplomasi dari negara-negara Uni Eropa terkait dengan isu lingkungan (deforestasi).
Pemerintah bersama pelaku usaha sawit dinilai harus bersinergi dalam merespon isu tersebut dan secara proaktif melakukan negosisasi dan branding bahwa industri sawit tidak seperti yang dituduhkan Uni Eropa.
“Hal terpenting adalah merubah perilaku pelaku usaha atau perusahaan sawit yang selama ini berorientasi jangka pendek, misalnya jika harga CPO dunia meningkat, mereka lebih baik ekspor CPO karena mendapatkan marjin yang begitu besar, mengabaikan aspek sustainability,” kata Ujang dalam catatannya, Rabu (29/11/2023).
Baca juga: Pemerintah Harus Cermati Positive List Produk Impor Agar Tak Hambat Hilirisasi
“Mereka berpikir seperti broker, bukan entrepreneur,” terangnya.
Aspek lainnya yang juga penting adalah menjalin atau memperkuat kemitraan, terutama dengan petani sawit rakyat, dalam rangka menjamin rantai pasok dan rantai nilai sawit.
Kemitraan yang saling mendukung dan memperkuat, mutlak diperlukan agar sustainability industri sawit terjaga.
Ujang menuturlam PTPN Group melalui rencana pembentukan PalmCo telah merespons dan beradaptasi dengan kebijakan pemerintah untuk mempercepat program hilirisasi pengelolaan sumber daya alam dari perkebunan di masa mendatang.
Menurutnya, bisnis sawit yang dilakukan PTPN Group selama ini belum terintegrasi dari hulu-hilir atau masih partial.
Hal ini menjadi salah satu kendala bagi PTPN Group dalam merespons dan beradaptasi dengan kebijakan Pemerintah maupun kondisi pasar yang bergerak begitu cepat dan dinamis, terutama soal hilirisasi.
Padahal, jelasnya, prasayarat dan kunci keberhasilan hilirisasi adalah efisiensi.
Untuk itulah, dia mengapresiasi adanya upaya transformasi yang dilakukan BUMN perkebunan dengan rencana merampingkan organisasi yang gemuk menjadi sebuah sub holding yang terintegrasi.
“PalmCo diarahkan menjadi terintegrasi, sehingga rantai nilai yang diperoleh bisa menjadi lebih besar. Struktur organisasi yang gemuk dirampingkan, mindset harus diubah dari orientasi ” pelayanan” menjadi orientasi bisnis yang terintegrasi,” jelas Ujang.
Baca juga: Maksimalkan Hilirisasi Bisa Jadikan Wakatobi Penghasil Rumput Laut Nomor 1 di Dunia
Dia memaparkan pembentukan PalmCo dapat melakukan efisiensi dari semua aspek, terutama aspek manajemen maupun operasional. Upaya peningkatan efisiensi, antara lain bisnis yang dilakukan PalmCO harus terintegrasi dari hulu-hilir.
ada dasarnya pembentukan PalmCo adalah untuk meningkatkan skala usaha perkebunan sawit, sehingga secara teori akan mendapatkan economies of scale.
Dalam jangka panjang, ujarnya, PalmCO akan menurunkan biaya produksi (decreasing cost), sehingga tentunya dapat meningkatkan penerimaan (increasing return). Kondisi ini tentunya akan mendorong peningkatan potensi profit perusahaan yang pada gilirannya akan meningkatkan devisa negara.
PalmCo juga dapat mengoptimalkan potensi PTPN Group yang selama ini belum tergarap di antaranya mengelola hilirisasi produk turunan sawit yang selama ini belum dikembangkan karena PTPN Group masih terfokus pada minyak goreng, yang mencapai hampir 60 persen, sedangkan produk turunan lainnya belum disentuh dengan serius.
Selain pada produk tradisional, seperti minyak goreng, menurutnya, hilirisasi juga diarahkan ke industri turunan lainnya yang memiliki nilai tambah lebih, seperti bioetanol dan produk kesehatan/kosmetik, termasuk biomas yang belum disentuh.
Dari sisi pemasaran produk, selama ini negara tujuan pasar ekspor masih fokus ke pasar tradisional, sedangkan pasar lainnya belum digarap dengan serius.
Hal ini, menurutnya, menjadi potensi bisnis besar bagi PalmCo ke depan.
Ujang menilai Pemerintah harus memberikan insentif bagi perusahaan yang mengembangkan produk turunan sawit, selain minyak goreng.