Celios: Hilirisasi Nikel Jika Tidak Hati-Hati Bisa Tamat Cepat
Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menyatakan, terdapat keunggulan dan tantangan dalam hilirisasi
Penulis: Dennis Destryawan
Editor: Hendra Gunawan
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Dennis Destryawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menyatakan, terdapat keunggulan dan tantangan dalam hilirisasi nikel di Indonesia.
Bhima menerangkan, nikel merupakan bahan baku baterai yang daya pengisiannya cukup lama. Daya tempuhnya, jika digunakan di mobil listrik bisa lebih kompetitif dibandingkan alternatif seperti Lithium Ferro-Phosphate (LFP), logam yang banyak digunakan dalam baterai isi ulang lithium-ion.
"Memang sudah ada LFP dan berbagai alternatif dari bahan baku baterai, tetapi nikel masih dipandang memiliki jarak tempuh yang lebih jauh, baik untuk kendaraan pribadi maupun kendaraan logistik yang basisnya adalah kendaraan listrik," ujar Bhima saat dihubungi Tribunnews, Rabu (24/1/2024).
Baca juga: Hilirisasi Nikel Terancam LFP, Politikus PDIP: Pemerintah Harus Cari Alternatif Energi Lainnya
Menurut Bhima, hal tersebut menjadi keunggulan nike. Namun, di Indonesia, nikel yang diproduksi merupakan feronikel dan Nickel Pig Iron (NPI). Feronikel merupakan logam paduan antara besi dan nikel.
Dilansir dari data.brin.go.id, Feronikel mengandung 80 persen besi dan 20 persen nikel yang dihasilkan dari proses peleburan reduksi bijih nikel oksida atau silikat yang mengandung besi. Sedangkan, NPI merupakan besi mentah yang mengandung nikel kurang dari 15 persen dengan kadar belerang dan fosfor lebih tinggi dari feronikel.
"Kedua itu lebih banyak mensupply kebutuhan stainless steel atau besi tahan karat, dan 90 persen diekspor ke China untuk pemenuhan industri besi dan baja yang ada di China. Itu faktanya," tutur Bhima.
Karena itu, ucap Bhima, pemerintah Indonesia juga harus melihat apakah melakukan eksploitasi nikel dengan smelter juga yang cukup masif ini untuk pemenuhan industri besi baja internasional, atau untuk membangun industri baterai di dalam negeri.
"Ada beberapa warning atau perhatian bahwa kalau nikel yang digunakan untuk bahan baku mobil listrik ini punya dua ancaman. Ancaman yang pertama adalah ternyata tidak sebanyak itu bahan baku untuk baterai kendaraan listrik," terang Bhima.
Sedangkan, ancaman kedua banyak produsen baterai sekarang melakukan diversifikasi bahan baku di luar dari nikel. Misal. ada yang menggunakan LFP, lalu sodium, untuk alternatif dari bahan baku baterai yang lebih ramah lingkungan.
Baca juga: Pemerintah Gaungkan Hilirisasi, Ekonom Menyentil: Regulasi RI Sendiri Tidak Pro Nikel
"Karena proses untuk merefinasi atau memurnikan nikel di Indonesia ini masih dianggap menyumbang emisi karbon yang cukup tinggi," kata Bhima.
Sebab, lanjut dia, masih banyak menggunakan pembangkit listrik tenaga uap atau PLTU batubara. Hal tersebut, dapat merusak imej nikel, yang digunakan untuk kendaraan listrik. Bhima mengingatkan, soa stok nikel di Indonesia.
"Kita terus mengeksploitasi, sementara cadangan untuk bahan baku yang digunakan untuk baterai kendaraan listrik semakin terbatas, teknologi berubah, pasar berubah, hilirisasi kita bisa tamat dalam waktu yang sangat pendek," tambah Bhima.
Pemerintah diminta agar tidak mudah memberikan izin smelter baru. Perlu adanya moratorium agar menjaga keinginan untuk melakukan hilirisasi nikel, dan penggunaannya untuk kendaraan listrik.
Pemerintah juga bisa endorong perusahaan-perusahaan smelter menggunakan pembangkit yang lebih ramah lingkungan, seperti energi baru terbarukan. Ditambah pentingnya memperhatikan dampak lingkungan mulai dari hulu pertambangan sampai dengan proses smelternya.
"Kita harus menekankan bahwa investasi yang masuk adalah investasi yang berkorelasi membangun pabrik baterai listrik dan daur ulang baterai di dalam negeri. Bukan sekedar melakukan ekspor feronikel dan NPI yang digunakan untuk stainless steel. Karena maunya bukan untuk stainless steel, maunya hilirisasinya untuk baterai kendaraan listrik," tutur Bhima