Pemerintah Tolak Permintaan Pengusaha Ritel Relaksasi Harga Eceran Tertinggi Beras
Merelaksasi HET bukanlah solusi untuk berbagai masalah beras, tetapi hal yang harus dibenahi adalah produksinya.
Penulis: Endrapta Ibrahim Pramudhiaz
Editor: Seno Tri Sulistiyono
Laporan wartawan Tribunnews.com, Endrapta Pramudhiaz
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pemerintah melalui Badan Pangan Nasional (Bapanas) menolak permintaan pengusaha ritel merelaksasi kebijakan Harga Eceran Tertinggi (HET) sejumlah bahan pokok untuk sementara waktu, salah satunya beras.
Diketahui, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (APRINDO) Roy Mandey meminta relaksasi HET beras agar mampu menekan harga beras premium yang tengah naik dan stok yang mulai langka di pasar ritel modern.
Menurut Kepala Bapanas Arief Prasetyo Adi, merelaksasi HET bukanlah solusi untuk berbagai masalah tersebut. Hal yang harus dibenahi adalah produksinya.
"HET bukan solusinya. Solusinya ada di produksi," kata Arief kepada Tribunnews, Sabtu (10/2/2024).
Baca juga: Harga Beras Melonjak dan Langka, Capres Turut Singgung Pemimpin Hanya Diam Saat Rakyat Teriak
Ia mengatakan, saat ini ada beberapa hal yang sedang dijalankan pemerintah guna mengatasi kesediaan beras yang mulai langka.
Pertama, mempercepat proses bongkar muat kapal beras impor di beberapa pelabuhan.
Kemudian, menyuplai 200 ribu ton beras komersial dari Bulog ke ritel, termasuk 50 ribu ton ke Food Station/PIBC atas permintaan Gubernur DKI Jakarta dengan BUMD pangannya.
Lalu, menggenlontorkan beras Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP) secara terus menerus ke pasar tradisional dan retail modern.
"Gerakan Pangan Murah (GPM) Nasional terus dikerjakan dan bantuan pangan beras yang akan dimulai kembali 15 Februari 2024," ujar Arief.
"Jadi kenapa kita jalankan GPM, SPHP dan bantuan pangan? Karena Pemerintah hadir untuk masyarakat yang sedang memerlukan dan tidak ada agenda politisasi Pemilu," lanjutnya.
Arief turut memastikan dirinya selalu secara erat berkoordinasi dengan APRINDO untuk memastikan stok di pasar ritel modern tetap ada.
"Saya sangat erat berkoordinasi dengan APRINDO untuk memastikan stok tetap ada di modern market dan pedagang pasar untuk alokasikan beras Bulog," ujarnya.
Sebelumnya, Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (APRINDO) meminta Pemerintah merelaksasi kebijakan Harga Eceran Tertinggi (HET) sejumlah bahan pokok untuk sementara waktu.
Bahan pokok yang dimaksud di antaranya beras, gula, minyak goreng, dan beberapa komoditas lainnya yang berpotensi mengalami kenaikan harga di Februari ini.
Ketua Umum Aprindo Roy Mandey meminta adanyan relaksasi HET hingga periode tertentu, selama kebijakannya masih dikaji dan belum adanya keputusan untuk melakukan perubahan HET & Harga Acuan melalui Rakortas.
Menurut dia, relaksasi HET ini bisa mencegah kekosongan atau kelangkaan atas bahan pokok di gerai-gerai ritel modern di Indonesia.
Dia bilang, bila kelangkaan terjadi, maka akan bermuara kepada konsumen melakukan "panic buying".
"Mereka akan berlomba membeli, bahkan menyimpan bahan pokok karena khawatir barang akan habis dan situasi harga yang tidak stabil," ujar Roy dikutip dari keterangan tertulis, Sabtu (10/2/2024).
Roy menyebut, relaksasi HET dan aturan mainnya ini dimaksud agar peritel dapat membeli bahan pokok dari para produsen yang sudah menaikkan harganya.
Dia bilang, produsen telah meningkatkan harga beli bahan pokok hingga di atas HET selama sepekan terakhir ini sebesar 20-35 persen dari harga sebelumnya.
Peritel, kata Roy, tidak dapat mengatur dan mengontrol harga yang ditentukan produsen bahan pokok tersebut karena harga ditetapkan oleh produsen yang berada di sektor hulu.
Pengusaha ritel tak punya andil menentukan harga yang ditetapkan produsen karena mereka berada di sektor hilir.
Roy kemudian mencontohkan saat ini peritel mulai kesulitan mendapatkan stok beras tipe premium lokal dengan kemasan 5 kilogram.
"Keterbatasan supply beras tersebut disebabkan saat ini belum masa panen yang diperkirakan akan terjadi pada pertengahan bulan Maret 2024," kata Roy.
Situasi dan kondisi yang tidak seimbang
antara supply dan demand inilah yang mengakibatkan kenaikan HET beras di pasar ritel modern (toko swalayan).
Roy juga harus menelan fakta bahwa saat ini peritel tidak ada pilihan selain membeli beras dengan harga di atas HET dari para produsen atau pemasok beras lokal.
"Bagaimana mungkin kami menjualnya dengan (harga sesuai) HET? Siapa yang akan menanggung kerugiannya?" pungkas Roy.
"Siapa yang akan bertanggung jawab bila terjadi kekosongan dan kelangkaan bahan pokok dan penting tersebut di gerai ritel modern? Karena kami tidak mungkin membeli mahal dan menjual rugi,” lanjutnya.
Roy pun meminta jaminan dari Pemerintah serta pihak berwenang, yakni Satgas Pangan & PPNS, untuk merelaksasi pula aturan main HET yang ditetapkan dan berjalan selama ini.
Hal itu agar peritel dapat terus menyediakan kebutuhan pokok dan penting bagi masyarakat, guna menghindari kekosongan dan kelangkaan bahan pokok di gerai ritel modern.
Roy menyarankan kementerian dan lembaga terkait bisa memprioritaskan koordinasi & komunikasi denga para pelaku usaha dari sektor hulu hingga hilir.
Ia juga meminta dihadirkan segera kebijakan yang sifatnya bukan hanya normatif atau retorika.
Namun, kebijakan yang berorientasi urgensi dan empati dengan mengedepankan solusi adaptif, relevan, serta win-win solution.
"Maka permasalahan anomali harga bahan pokok & penting semestinya dapat terkelola dan terkendali dengan baik,” tutur Roy.