Pengamat: Mahalnya Harga Beras dan Hancurnya Stok Saat Ini Gara-gara Alokasi Pupuk Dikurangi
Ada persoalan kompleks yang membuat pasokan beras menjadi langka dan membuat harganya terus merangkak naik.
Penulis: Bambang Ismoyo
Editor: Choirul Arifin
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ismoyo
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengamat ekonomi Said Abdullah mengatakan ada persoalan kompleks yang membuat pasokan beras menjadi langka dan membuat harganya terus merangkak naik.
Dia mengatakan, persoalan pupuk sudah terjadi sejak akhir 2022, dimulai dari adanya pengurangan alokasi pupuk.
"Persoalan beras yang ada hari ini merupakan akumulasi dari berbagai persoalan dan situasi," ungkap Said kepada Tribunnews, Kamis (22/2/2024).
"Jika kita runut, persoalan perberasan tahun ini sebenarnya sudah dimulai dari akhir tahun 2022 ketika terjadi pengurangan alokasi pupuk," sambungnya.
Said melanjutkan, tanah di Jawa sudah sangat tergantung pada pupuk kimiawi. Artinya produksi sangat ditentukan oleh seberapa besar penggunaan pupuknya.
Berdasarkan catatannya, di tahun 2023, alokasi pupuk pada 2 musim tanam jauh berkurang.
Hal ini juga dipicu oleh perang Rusia denga Ukraina yang menyebabkan pasokan bahan baku pupuk terhambat.
Rendahnya penggunaan pupuk menyebakan kualitas gabah menurun.
Hal ini bisa dilihat dari rendemen gabah yang rendah, rendemen turun 3-4 persen. Artinya sekalipun produksi gabah tetap, namun saat dikonversi ke beras menjadi berkurang jauh.
Persoalan kedua, menurut Said, polemik beras dikarenakan adanya efek El Nino.
Baca juga: Warteg Kewalahan Hadapi Lonjakan Harga Beras dan Cabai, Kurangi Porsi Nasi dan Sambal
Said mengungkapkan, pada musim panen Juli-September 2023, petani mengalami lost hasil panen yang cukup besar bahkan ada yang puso.
Sementara pada wilayah pertanian padi tadah hujan seperti Banten, Banyuwangi atau sebagian selatan Pulau Jawa mengalami penurunan produksi 1-2 ton per hektar, bahkan hal tersebut terjadi pada musim tanam pertama.
Baca juga: Peneliti: Keterbatasan Produksi Jadi Penyebab Harga Beras Meroket
Said menyoroti, situasi ini terus bergulir dan seolah dibiarkan.
"Ada dugaan juga ini dibiarkan supaya ada alas an untuk impor demi kepentingan hajatan politik," papar Said yang juga Koordinator Koalisi Rakyat Kedaulatan Pangan (KRKP) ini.
"Jumlah produksi yang turun mendorong terjadinya ketidakseimbangan supply-demand. Oleh karenanya sejak awal tahun 2023 sampai saat ini harga beras luar biasa naik dan menjadi rekor terbesar," lanjutnya.
Situasinya makin runyam, sambung Said, ketika pada bulan Desember-Februari beras ditarik ke Bansos Pangan yang diduga lebih banyak kepentingan politiknya dalam jumlah yang besar.
Hal ini tentu saja turut mempengrauhi ketersediaan beras. Terutama beras yang dimiliki oleh Bulog yang harusnya bisa dialokasikan ke pasar ketika harga makin menjadi atau stok beras di pasaran tidak ada.
Situasi di atas diperberat dengan adanya aturan harga eceran tertinggi (HET) untuk beras premium yang ini memicu kelangkaan beras di pasar modern dan ritel.
"Para pengusaha dan peritel tidak sanggup lagi memasarakannya karena kerugian pasti di dapat," ungkap Said.
"HET ditetapkan pemerintah sebesar maksimal Rp14.000 per kilogram, padahal dari hitungan biaya poduksi sekarang sudah mencapai 16.500 per kilogram. Ini belum ditambah biaya biaya produksi dan distribusi Rp1.200 per kilogram, kalau kita cermati harga gabah sampai saat ini sudah berlipat-lipat kali," pungkasnya.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.