Petani: Stagnasi Harga CPO 2015-2023 Pengaruhi Harga TBS, Bagaimana Solusi Pemerintah Tahun Ini?
Petani sawit harus mendapat perhatian karena ikut menyukseskan program pemerintah.
Penulis: Erik S
Editor: Seno Tri Sulistiyono
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA- Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (DPP APKASINDO), Gulat ME Manurung dalam konferensi pers refleksi perjalanan petani sawit 2023 menyampaikan beberapa isu krusial mengenai industri sawit.
Didampingi Sekretaris Jenderal DPP APKASINDO, Rino Afrino, Gulat memaparkan beberapa isu mulai dari harga crude palm oil (CPO), bursa CPO, biodiesel dan hubungannya dengan harga tandan buah segar (TBS) petani, harga pupuk dan harga pokok produksi, penuntasan legalitas perkebunan sawit rakyat, program Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) dan hubungannya ke Rekomtek Dirjen Perkebunan, peremajaan sawit rakyat (PSR), PKS Mini dan Sarpras lainnya.
Selain itu, isu mengenai ancaman ISPO bagi Petani Sawit, pemberlakuan EUDR dan advokasi sawit, koordinasi dengan aparat penegak hukum, hingga seputar peningkatan sumber daya manusia serta program beasiswa sawit juga turut dibahas.
Menurut Gulat, petani sawit harus mendapat perhatian karena ikut menyukseskan program pemerintah. Partisipasi aktif 17 juta petani sawit misalnya telah berkontribusi mensukseskan pemilihan umum dan program pemerintah lainnya.
Baca juga: Tingkatkan Produksi, Revitalisasi Tanaman Sawit di Jambi Jangkau Lahan Seluas 15.000 Ha
Berdasarkan catatan APKASINDO, dari tahun 2015-2023 diketahui rerata harga CPO Internasional Rotterdam dan PT Kharisma Pemasaran Bersama Nusantara (KPBN) setiap tahunnya menunjukkan dinamika yang tidak konsisten.
“Inkonsistensi ini bermula dari Indonesia sebagai produsen CPO terbesar dunia,” ujar Gulat dalam keteranganya, Selasa (12/3/2024).
Seperti tampak pada dinamika harga CPO tahun 2015 sampai tahun 2019 yang berkisar antara 3-11 persen, yang artinya pada kurun waktu 2015-2019 tidak terjadi kenaikan yang cukup berarti. Bahkan pada 2017-2019 terjadi penurunan rata-rata harga CPO sebesar 7,04%.
Akibat dari penurunan harga pada periode 2017-2019 ini praktis membuat harga TBS stagnan selama tiga tahun, rerata di harga Rp1.650/kg TBS.
“Dengan perbandingan harga Periode 2017-2019 dengan periode 2015-2016 diketahui rata-rata harga TBS petani justru lebih tinggi yaitu Rp1.6.75/kg,” kata Gulat.
Fenomena lain yang menarik disimak yaitu harga CPO periode 2020 dibandingkan 2019 terjadi kenaikan harga CPO (Rotterdam) sebesar 21,21% dan kenaikan ini lebih tajam lagi tahun 2021 dibandingkan 2020 sebesar 59,54% dan periode 2022 kembali naik dibandingkan periode 2021, meskipun hanya 14,83%.
Rerata Harga TBS Periode 2020-2023 adalah sebesar Rp2.175, di mana puncak harga TBS tertinggi terjadi pada periode 2022 sebesar rerata Rp.2.450/kg (Harga CPO Rotterdam Rp19.780).
Gulat mengatakan harga CPO Rotterdam dengan harga CPO KPBN cenderung memiliki seirama meskipun terlihat terjadi perbedaan harga yang signifikan antara harga CPO Rotterdam dengan KPBN yang diakibatkan oleh beberapa faktor seperti beban bea keluar dan pungutan ekspor (levy) yang cenderung menekan harga CPO KPBN.
Selain itu kelas dari KPBN yang sifatnya tender tentu akan mengakibatkan semakin tertekannya harga CPO KPBN dibandingkan dengan kelas bursa internasional Rotterdam.
Menurutnya, catatan penting dari perjalanan harga CPO (2015-2023) adalah kenaikan harga CPO dari 2015 ke 2023 tidak menunjukkan kenaikan harga yang signifikan yaitu hanya 42,04% sedangkan kenaikan harga TBS dari tahun 2015-2023 hanya 27,27%.