Efek Serangan Iran ke Israel Bagi Ekonomi Dunia: Harga Minyak Membara Hingga Picu Inflasi Global
Timur Tengah kembali memanas usai pasukan elit garda revolusi Iran (IRGC) menghujani langit Israel dengan 300 rudal balistik
Penulis: Namira Yunia Lestanti
Editor: Hendra Gunawan
Laporan Wartawan Tribunnews.com Namira Yunia Lestanti
TRIBUNNEWS.COM, WASHINGTON – Timur Tengah kembali memanas usai pasukan elit garda revolusi Iran (IRGC) menghujani langit Israel dengan 300 rudal balistik dan rudal jelajah sejak Minggu (14/4/2024).
Konflik panas antara Iran dan Israel pertama kali pecah usai jet tempur F-35 milik militer Israel melancarkan serangan mematikan ke Konsulat Iran di Damaskus, hingga menewaskan tujuh pasukan elit Iran, termasuk Pemimpin Garda Revolusi IRGC, Mohammad Reza Zahed.
Israel berdalih serangan terhadap Damaskus tidak menargetkan gedung kedutaan Iran, melainkan bangunan di dekatnya yang berfungsi sebagai markas militer Garda Revolusi.
Namun Iran menilai serangan itu telah mengganggu kedaulatan negaranya alasan ini yang membuat IRGC murka dengan menyita kapal kontainer milik miliarder Israel yang berlayar di Selat Hormuz.
Tak hanya itu Iran juga nekat meluncurkan ratusan drone dan rudal ke wilayah Tel Aviv. Memanasnya konflik antara Iran-Israel lantas memicu kepanikan para netizen dunia.
Di laman media sosial X warganet mulai membicarakan potensi terjadinya perang dunia ke III pasca AS dan Inggris ikut turun tangan, menerjunkan pesawat tempurnya untuk melindungi Israel dari serangan drone Iran.
Imbas dari konflik ini pasar keuangan mulai dihantui sentimen negatif, banyak ekonom khawatiran apabila serangan Iran terhadap Israel dapat berdampak negatif bagi perekonomian dunia yang telah lama berkontraksi akibat perang Hamas-Israel serta konflik Rusia-Ukraina.
Berikut beberapa skenario buruk yang timbul apabila konflik Iran vs Israel meluas, sebagaimana dikutip dari berbagai sumber
Harga Minyak Dunia Memanas
Konflik Timur Tengah yang semakin memanas perlahan mengerek naik minyak yang diperjualbelikan di pasar global, hingga harganya diprediksi tembus ke level 100 dolar AS per barel.
Ancaman itu dapat terjadi apabila Amerika Serikat (AS) dan Barat benar-benar memberlakukan sanksi agresif ke Iran yang terus melanjutkan eskalasi ke Israel. Adapun sanksi yang akan diberlakukan yakni berupa pembatasan ekspor minyak dari Iran.
Meski pembatasan ekspor minyak dapat memukul perekonomian Iran, akan tetapi apabila sanksi ini diberlakukan dalam jangka waktu yang lama maka pasar global akan mengalami lonjakan harga minyak mentah.
Hal ini terjadi karena pasokan minyak Iran untuk dunia akan dipangkas sementara permintaan pasar global akan terus mengalami kenaikan, alasan tersebut yang menyebabkan kenaikan lebih lanjut pada harga minyak dan harga bensin dunia.
“Para pengendara bersiap menghadapi kenaikan harga bahan bakar karena meningkatnya krisis di Timur Tengah yang mengancam harga minyak mendekati 100 dolar AS per barel,” ujar Simon Williams, juru bicara badan usaha penyedia BBM Inggris, RAC dikutip dari Telegraph.
Picu Inflasi
Mengutip dari Fortune, kenaikan harga minyak yang terjadi terus menerus bisa memicu inflasi yang berdampak negatif bagi ekonomi dunia.
Ini terjadi karena kenaikan harga minyak mendorong suatu negara menambah valuasinya, apabila hal tersebut tidak dilakukan dengan pertimbangan yang matang maka kemungkinan besar akan membuat pembengkakan utang ke pasar global.
Suku bunga dan tingkat utang yang lebih tinggi mendorong lonjakan biaya bunga pemerintah serta beban utang domestik, yang tentunya dapat membuat ekonomi suatu negara berkontraksi.
Lonjakan Suku Bunga
Selain memicu inflasi, harga minyak yang terus merambat bisa memberikan efek riak seperti meningkatnya suku bunga acuan sejumlah Bank Sentral. Ini terjadi karena kenaikan harga minyak dunia membuat inflasi suatu negara terus mengalami kenaikan.
Tekanan tersebut yang kemudian membebani bank sentral sehingga mereka harus mengambil langkah agresif dengan menaikkan suku bunga acuan ke level yang lebih tinggi untuk melawan inflasi.
“Kemungkinan kenaikan suku bunga akan terus terjadi, kami memperingatkan tidak akan ada penurunan suku bunga tahun ini jika inflasi tidak membaik,” tegas Presiden Fed San Francisco Mary Daly.
Meski kenaikan suku bunga yang dilakukan bank sentral The Fed, ECB dan BoE dianggap sebagai cara paling efektif untuk menyeimbangkan harga dan membuat laju inflasi melandai.
Namun sikap hawkish secara tidak langsung telah mengerek naik suku bunga di perbankan lokal, hingga bunga dana pinjaman ikut melesat ke level tertinggi di tengah naiknya inflasi.
Tekanan itu yang membuat investor enggan melakukan pembelian di pasar real estat komersial serta tidak lagi bersedia membayar harga pasar saat ini, alhasil bisnis investasi dan permodalan bank – bank lokal mulai dilanda krisis.
Saham Asia Cetak Raport Merah
Serangan Iran ke Israel pagi ini memicu kekhawatiran akan konflik regional yang lebih luas hingga membuat para pedagang tetap gelisah dan berdampak pada lesunya bursa-bursa saham di Asia.
Indeks MSCI untuk saham Asia-Pasifik di luar Jepang dilaporkan turun 0,7 persen setelah Iran meluncurkan drone dan rudal berbahan peledak ke Israel.
Disusul penurunan Nikkei Jepang (.N225), yang nilainya anjlok lebih dari 1 persen, sedangkan indeks S&P/ASX 200 Australia (.AXJO) kehilangan 0,6 persen dan Indeks Hang Seng Hong Kong (.HSI), merosot 0,8 persen pada Senin (15/4/2024).
Pasar Kripto Berkontraksi
Perdagangan koin kripto juga dilaporkan berkontraksi, usai likuidasi Bitcoin mengalami penurunan tajam sebesar 6,22 persen hingga harga amblas di level 65.210 dolar AS per koin.
Tidak hanya Bitcoin, harga Ethereum juga mengalami penurunan lebih dari 8,04 persen menjadi 3.148 dolar AS per koin. Disusul dengan amblasnya harga koin Solana sebesar 15,25 persen ke kisaran 149.61 dolar AS pada perdagangan Senin siang.
Pergerakan negatif koin kripto pada awal pekan ini terjadi dampak dari perang Iran dan Israel yang makin membara, hingga memunculkan spekulasi terkait isu bahwa aset kripto tidak lagi dianggap sebagai aset safe haven.