Imbas Situasi Memanas Iran-Israel, Jokowi Harus Mulai Kurangi Ketergantungan Minyak Impor
Tauhid mengatakan, situsi yang memanas ini akan direspons dengan harga minyak dunia yang naik karena Iran merupakan salah satu pemasok minyak dunia.
Penulis: Endrapta Ibrahim Pramudhiaz
Editor: Hendra Gunawan
Laporan wartawan Tribunnews.com, Endrapta Pramudhiaz
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Tauhid Ahmad menilai Pemerintahan Presiden Joko Widodo harus mulai mengurangi ketergantungan impor minyak imbas dari memanasnya situasi antara Iran dan Israel.
Tauhid mengatakan, situsi yang memanas ini akan direspons dengan harga minyak dunia yang naik karena Iran merupakan salah satu pemasok minyak dunia.
Indonesia sebagai negara importir minyak, tentu akan merasakan dampak dari naiknya harga minyak dunia. Salah satu yang berpotensi terjadi adalah membengkaknya subsidi.
Baca juga: Update Harga BBM Pertamina H+3 Arus Balik Lebaran: Pertalite Dijual Murah Rp10.000 Pertamax Rp12.950
"Saya kira dari harga minyak itu, misalnya Israel membalas dan sebagainya, ini tentu saja kawasan akan membara dan yang pertama adalah tadi harga minyak akan membuat, ya tanda kutip, defisit membengkak, subsidi membengkak, ya macam-macam lah kalau harga minyak [naik] kan," kata Tauhid kepada Tribunnews, Senin (15/4/2024).
Maka dari itu, Tauhid menyarankan agar pemerintah RI segera mengantisipasi hal ini. Salah satu opsi yang mau tidak mau harus diambil adalah menghentikan ketergantungan akan impor minyak.
"Mengantisipasi misalnya harga minyak naik dan sebagainya, tentu saja kita mau tidak mau harus melepaskan ketergantungan terhadap minyak. Ada penambahan jumlah produksi minyak dalam negeri, sehingga importasi dikurangi. Ya harus mulai ini," ujarnya.
Menurut Tauhid, Indonesia tidak boleh jadi bulan-bulanan dari naiknya harga minyak dunia imbas situasi politik yang memanas di Timur Tengah.
Sebagai negara net importir, Indonesia disebut akan sangat rugi jika harga minyak dunia melambung tinggi.
"Kan sebenarnya kan kita terus turun ya produksi [minyak] di bawah 650 ribu barrel per hari. Harusnya ini kan sudah terpaksa gitu. Kita nggak mau jadi bulanan-bulanan harga minyak karena kita negara net importir ya. Pasti sangat rugi dalam situasi itu," kata Tauhid.
Diberitakan sebelumnya, konflik Timur Tengah yang semakin memanas perlahan mengerek naik minyak yang diperjualbelikan di pasar global, hingga harganya diprediksi tembus ke level 100 dolar AS per barel.
Baca juga: Minggu Kemarin Konsumsi BBM Pertamina Naik Tajam, Paling Tinggi Pertamax sampai 70,6 Persen
“Para pengendara bersiap menghadapi kenaikan harga bahan bakar karena meningkatnya krisis di Timur Tengah yang mengancam harga minyak mendekati 100 dolar AS per barel,” ujar Simon Williams, juru bicara badan usaha penyedia BBM Inggris, RAC.
Peringatan tersebut diungkap usai harga minyak dunia terus mengalami kontraksi selama 24 jam terakhir, seperti minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) yang mengalami lonjakan signifikan, naik 2,02 dolar AS jadi 87,05 dolar AS per barel.
Sementara harga minyak mentah jenis Brent meroket 2 persen hingga harganya melesat pada perdagangan Senin pagi tembus 92 dolar AS per barel, tertinggi sejak Oktober 2023.