Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun Bisnis

Aktif Jaga Alam Lestari,Batik Tulis Giri Wastra Pura Pakai Pewarna Alami hingga Pembayaran Non-Tunai

Lebih jauh, Batik Tulis GWP juga mulai beradaptasi menggunakan pembayaran non-tunai untuk ikut gerakan pelestarian alam dengan mengurangi uang kertas

Penulis: Imam Saputro
Editor: Pravitri Retno W
zoom-in Aktif Jaga Alam Lestari,Batik Tulis Giri Wastra Pura Pakai Pewarna Alami hingga Pembayaran Non-Tunai
Tribunnews/Wahyu Gilang Putranto
Perjalanan batik tulis Giri Wastra Pura (GWP) melestarikan budaya warisan leluhur. 

TRIBUNNEWS.COM - Suasana asri langsung terasa ketika berkunjung ke galeri dan Rumah Produksi Batik Tulis Giri Wastra Pura (GWP) di Desa Girilayu, Matesih, Karanganyar, Jawa Tengah.

Rimbunnya pohon menghalangi sinar matahari sehingga suasana terasa sejuk meski jarum jam menunjukkan pukul satu siang.

Di teras rumah, empat wanita sibuk menorehkan lilin menggunakan canting ke kain mori.

Lilin panas berwarna cokelat keemasan dijerang di atas wajan kecil, diambil menggunakan canting lalu ditorehkan ke pola di atas kain.

“Goresan di sini bisa lebih halus, karena udara di sini dingin,” kata Partinah, Ketua Kelompok Batik Tulis GWP, Selasa, 23 April 2024.

Perjalanan batik tulis Giri Wastra Pura (GWP) melestarikan budaya warisan leluhur.
Perjalanan batik tulis Giri Wastra Pura (GWP) melestarikan budaya warisan leluhur. (Tribunnews/Wahyu Gilang Putranto)

Udara yang dingin, lanjutnya, bisa membuat malam atau lilin lebih mudah menempel di kain dengan bentuk garis tipis.

“Terkenalnya batik tulis sini memang alusan, karena coretan malam bisa tipis,” kata dia.

BERITA REKOMENDASI

Partinah menunjukkan beberapa motif yang terus dijaga kelestariannya sebagai ciri khas Batik Girilayu, yakni motif monumen Tri Dharma, Motif Manggis, dan Motif Durian.

Tugu Tri Dharma (kiri) yang berada di Astana Mangadeg, Girilayu, Matesih, Karanganyar, menjadi ide motif khas batik tulis Giri Wastra Pura (kanan).
Tugu Tri Dharma (kiri) yang berada di Astana Mangadeg, Girilayu, Matesih, Karanganyar, menjadi ide motif khas batik tulis Giri Wastra Pura (kanan). (Tribun Jateng/Ist)

Tiga motif tersebut menjadi ciri khas batik tulis dari Desa Girilayu, Matesih, Karanganyar sejak beratus tahun silam.

Proses pembuatan batik tulis yang dilakukan di kelompok GWP juga menggunakan bahan alami.

“Untuk pewarnaan kami menggunakan bahan alami, ada kayu secang, daun indigo, dari dulu memang pakai yang alami,” kata dia.

Batik Girilayu memang sudah eksis sejak sebelum Indonesia merdeka, tak heran jika penggunaan bahan alami jadi pilihan utama.

“Kalau dulu kan belum ada yang sintetis atau buatan kimia, jadi diajari sama mbah ya pakai secang, pakai ketapang, pakai indigo,” terangnya.

Penggunaan bahan alami terus dilestarikan Partinah bersama Kelompok Batik Tulis GWP hingga kini.

Pengemasan batik yang sudah jadi juga menggunakan bahan kertas daur ulang.

"Sebisa mungkin kami menjaga harmoni dengan alam, dengan penggunaan bahan alami, pengolahan air limbah serta menggunakan lilin atau malam yang tidak merusak lingkungan," jelas Partinah.

Lebih jauh, Batik Tulis GWP juga mulai beradaptasi menggunakan pembayaran non-tunai untuk ikut gerakan pelestarian alam dengan mengurangi penggunaan uang kertas.

Pas pandemi itu mulai pakai QRIS dari BRI, karena kami salah satu UMKM binaan dari BRI, jadi proteksi kesehatan dapat dan mengurangi penggunaan uang kertas juga bisa,” terangnya.

Umur uang kertas akan lebih panjang jika perputarannya diminimalisir, sehingga bisa membantu melestarikan lingkungan utamanya kertas.

Selain itu transaksi yang masuk akan lebih tertata tanpa harus menulis di kertas seperti pencatatan zaman dahulu.

Kolase Qris yang ada di Batik Tulis Giwi Wastra Pura
Kolase Qris yang ada di Batik Tulis Giwi Wastra Pura (DOK. ISTIMEWA)

“Sama uang di rekening tiba-tiba jadi banyak,” kata Partinah sembari tersenyum.

Partinah mengatakan hampir separuh pembeli batik GWP sudah menggunakan pembayaran non-tunai.

“Karena praktis dan cepat saja, zaman sekarang orang sudah jarang bawa uang banyak, apalagi kalau pesenan batiknya banyak, biasanya transfer atau QRIS,” kata dia.

Batik Girilayu ada sejak awal Mangkunegaran

Desa Girilayu menjadi sentra perajin batik sejak zaman Mangkunegara I atau sekitar tahun 1775.

Tradisi membatik turun-temurun diwariskan oleh satu generasi ke generasi dibawahnya sejak sebelum Indonesia merdeka dan berkaitan erat dengan Kadipaten Praja Mangkunegaran Solo.

Batik Girilayu menjadi erat kaitannya dengan Mangkunegaran karena Girilayu secara wilayah sangat dekat dengan beberapa situs penting Mangkunegaran. 

Misalnya, pemakaman raja-raja Mangkunegaran di Astana Mangadeg di Girilayu.

Di Astana Mangadeg, terdapat makam Raden Mas Said atau Pangeran Sambernyowo yang merupakan adipati pertama dari Praja Mangkunegaran. 

Girilayu juga tak begitu jauh dengan makam Presiden ke-2 R,  Soeharto di Astana Giribangun yang juga erat kaitannya dengan Mangkunegaran.

“Dulu zaman mbah-mbah katanya memang membatik sejak Mangkunegaran I, mulai cara membatik, motif, cara pewarnaan itu diajarkan turun-temurun,” kata Partinah.

Partinah yang merupakan generasi keempat di keluarganya yang menekuni batik mengatakan di Desa Girilayu terdapat belasan kelompok batik yang membawahi puluhan perajin setiap kelompoknya,

“Sistemnya ada kelompok batik di Girilayu, misal ada pesanan banyak kami biasanya kerja sama, untuk motif dan cara membatik hampir sama, karena turun temurun dari leluhur di Desa Girilayu,” kata dia.

Partinah kini mengelola kelompok batik yang diberi nama Batik Tulis Giri Wastra Pura (GWP). 

Kelompok batik miliknya merupakan satu di antara 12 kelompok batik yang berada di Desa Girilayu.

"Membentuk kelompok batik mulai 2019, untuk melestarikan warisan budaya yakni  batik tulis, mayoritas memang emak-emak yang membatik," katanya.

Dia menceritakan, dahulu warga di Desa Girilayu dulunya merupakan buruh batik.

Mereka membatik di rumah masing-masing untuk kemudian batik setengah jadi tersebut disetorkan ke Solo. 

Akan tetapi, warga Desa Girilayu kini telah bisa membatik secara mandiri hingga memasarkan hasil karyanya.

"Dikerjakan di sini (Girilayu), terus disetorkan ke Solo untuk finishing atau proses pewarnaan. Tapi sekarang, ibu-ibu sudah bisa mengerjakan dari awal, kain diberi pola, hingga pewarnaan dan dipasarkan sendiri," terangnya.

"Dikerjakan di rumah untuk samben (kerja sampingan), setelah selesai pekerjaan rumah, bisa nyanting. Jadi dapat uang setelah selesai selembar kain," ungkapnya.

Partinah mengungkapkan, proses membuat batik tulis membutuhkan waktu sekitar 6 hingga 8 bulan. 

Proses pengerjaan yang membutuhkan waktu lama dan ketelitian itulah yang membuat harga batik tulis cukup mahal. 

Untuk lembaran kain dengan ukuran panjang 2,6 meter dan lebar 1,2 hingga 1,5 meter dijual mulai harga Rp 600 ribu hingga Rp 3,5 juta.

Cashless jadi nilai tambah UMKM

Ekonom Universitas Slamet Riyadi (Unisri) Solo, Suharno, mengatakan adanya pembayaran non tunai bisa membuat nilai tambah bagi UMKM.

“Solo dan Karanganyar sekarang sudah jadi tujuan wisata, akan banyak orang yang liburan yang pakai pembayaran non tunai, jika UMKM menyediakan QRIS atau EDC pasti jadi nilai tambah di mata wisatawan,” kata Suharno ketika dihubungi Tribunnews.com, akhir Maret 2024.

QRIS juga membantu agar transaksi terjadi secara cepat dan efisien karena jumlah tagihan dan pembayaran sudah ditentukan, tidak perlu ada selisih kembalian.

“Contoh adalah kuliner di Solo mayoritas harganya murah, misal beli dawet atau tahok, itu harganya 8 ribuan, kalau scan kan cepet, kalau pakai yang tunai ada kemungkinan mencari pecahan uang yang pas dulu dan sebagainya,” kata Suharno yang menulis buku 91 Tips UMKM Naik Kelas ini.

Hal itu berlaku juga untuk transaksi dengan nilai yang besar.

"Misal batik tulis yang harganya bisa mencapai jutaan, kalau langsung QRIS kan pembeli aman tidak usah bawa uang banyak, penjual juga uangnya masuk rekening langsung," jelas Suharno.

Selain itu, kata Suharno, transaksi non tunai bisa membuat UMKM mengatur keuangannya menjadi lebih tertata dan terdata.

BRI dukung UMKM go digital

Regional CEO RO BRI Yogyakarta, John Sarjono, mengatakan BRI mendukung UMKM dalam penyediaan akses pembayaran digital baik melalui alat transaksi EDC (Electronic Data Capture) maupun QRIS (Quick Response Code Standar Indonesia).

Pada lingkup wilayah kelolaan BRI Regional Office Yogyakarta, pada 2022 sejumlah 9.282 merchant telah menggunakan EDC BRI dan 209.285 merchant telah menggunakan alat transaksi QRIS BRI.

Kemudian pada 2023 sejumlah 10.296 merchant telah menggunakan EDC BRI dan 245.053 merchant telah menggunakan alat QRIS.

Di Februari 2024, jumlah UMKM pengguna EDC BRI telah mencapai 11.309 UMKM dan pengguna QRIS sebanyak 264.456 UMKM.

Adapun dari nilai transaksi penggunaan QRIS makin meningkat dari tahun ke tahun.

“QRIS di 2022 sebesar Rp 315 juta dan ditutup dengan peningkatan hingga Rp1,7 T di Tahun 2023,” kata John Sarjono melalui keterangan tertulisnya.(*)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas