Ekonom Indef: Kenaikan Suku Bunga Acuan Memberatkan Sektor Riil
Bank sentral tidak punya banyak pilihan instrumen moneter lain untuk mengendalikan nilai tukar rupiah yang terus terdepresiasi.
Penulis: Reynas Abdila
Editor: Seno Tri Sulistiyono
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Reynas Abdila
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Esther Sri Astuti memandang keputusan BI menaikkan suku bunga acuannya menjadi 6,25 persen pilihan kebijakan yang paling aman.
Menurutnya, bank sentral tidak punya banyak pilihan instrumen moneter lain untuk mengendalikan nilai tukar rupiah yang terus terdepresiasi.
Kebijakan itu pun sebagai upaya menahan arus modal keluar (capital outflow) dari Indonesia.
Baca juga: Pengusaha Ngerem Investasi Imbas Kenaikan Suku Bunga Acuan Bank Indonesia
Esther menegaskan kenaikan BI Rate akan sangat memberatkan sektor riil.
Pelaku usaha yang melakukan pinjaman di bank bisa menimbulkan peningkatan kredit bermasalah (Non-Performing Loan/NPL).
“Kemungkinan adanya NPL pasti ada sehingga BI juga harus memberikan relaksasi kredit jika ada debitur yang keberatan dan punya tendensi kreditnya macet,” katanya dihubungi Kamis (26/4/2024).
Pemerintah dalam hal ini Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menganggap keputusan BI menaikkan suku bunga acuan untuk menyelamatkan nilai tukar rupiah yang kini tengah tertekan kurs dolar AS.
BI Rate yang dinaikkan diyakininya akan mempertebal pasokan dolar di Indonesia usai neraca perdagangan Indonesia pada Maret 2024 surplus tinggi.
Terlebih neraca ekspor-impor Indonesia per Maret 2024 meningkat menjadi sebesar 4,47 miliar dolar AS dari Februari hanya 830 juta dolar AS.
"Yang paling penting dalam menjaga currency dengan kita punya trade balance dan terakhir BI trade balance yang sudah mulai menurun ini mengingkat kembali ke 4 miliar dolar AS lebih," tegas Airlangga.
Menurutnya, angka itu dimanfaatkan dengan baik oleh BI untuk menambah kekuatan pencegahan terhadap capital flight.
Airlangga mempertegas, mekanisme pertahanan yang dilakukan BI dalam menjaga stabilitas nilai tukar rupiah melalui kebijakan moneter hawkish itu sudah pas.
Sebab Bank Sentral AS pun masih berupaya mengendalikan tekanan inflasi dengan kebijakan suku bunga tinggi.
"Amerika bikin strategi higher for longer dia menggunakan strategi itu melawan inflasinya, untuk negara seperti Indonesia kita bisa menarik currency keluar. Tapi defends mechanism yang dilakukan sudah dalam koridor yang pas," tukas Airlangga.