Protes soal Iuran Tapera, Serikat Buruh Aspek: Tabungan Kok Dipaksa, Negara Defisit?
Presiden Aspek Indonesia Mirah Sumirat mengatakan, pemerintah seharusnya tidak memaksakan kehendak kepada pekerja.
Penulis: Dennis Destryawan
Editor: Sanusi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Dennis Destryawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Serikat Buruh menilai iuran tabungan perumahan rakyat (Tapera) seharusnya tidak memaksa kelompok pekerja. Mereka mempertanyakan negara yang dinilai tengah mengalami defisit.
Presiden Asosiasi Serikat Pekerja (Aspek) Indonesia Mirah Sumirat mengatakan, pemerintah seharusnya tidak memaksakan kehendak kepada pekerja.
"Narik duit rakyat atas nama tabungan rakyat kok dipaksa? Itu namanya otoriter. Dugaan saya semakin kuat bahwa negara sedang defisit," ujar Mirah saat dihubungi Tribunnews, Kamis (30/5/2024).
Baca juga: Ketua Fraksi PAN: Aturan Terkait Iuran Tapera Belum Disosialisasikan dengan Baik
Mirah menyayangkan, kebijakan dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 21/2024 tentang perubahan atas PP No. 25/2020 tentang Penyelengaraan Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) telah ditetapkan Presiden Joko Widodo pada 20 Mei 2024.
Kebijakan Ini mewajibkan pekerja untuk membayarkan iuran perumahan rakyat dengan besaran 2,5 persen dari upah dan 0,5 persen dibayarkan oleh pemberi kerja. Iuran Tapera akan efektif berlaku paling lambat 7 tahun setelah penetapannya atau pada tahun 2027.
"Buruh sudah banyak dibebankan oleh kesulitan ekonomi dengan naiknya harga bahan-bahan pokok, upah rendah, dan ancaman badai Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)," tuturnya.
Mirah berujar, situasi kondisi pekerja buruh saat ini sudah luar biasa sulit untuk menjalankan kehidupan dia, upahnya murah sudah berlangsung sejak Undang-undang Omnibuslaw Cipta Kerja tahun 2021.
Sedangkan, ucap Mirah, kebijakan Tapera akan sangat merugikan para pekerja, dia menduga bahwa pembentukan Badan yang menangani Tapera hanya merupakan alat bagi pemerintah untuk membagi-bagikan kekuasaan.
Baca juga: Said Iqbal Menilai Program Tapera Terkesan Dipaksakan, Jangan Sampai Korupsi Baru Merajalela
"Pasti ada susunan komisaris, direktur, dan saya menduga kuat itu hanya untuk bagi-bagi kekuasaan bagi kelompok-kelompok kekuasaan untuk duduk di sana," kata Mirah.
Mirah menuturkan, seharusnya pemerintah melibatkan peran aktif pekerja dalam proses perumusannya. Jika pun ingin membuat kebijakan, seharusnya yang bersifat subsidi kepada pekerja sebagaimana yang diamanatkan dalam undang-undang dasar.
"Bukan dari gaji yang dipotong. Belum lagi nanti klaimnya gimana, jadi harusnya dikaji ulang yang lebih mendalam," tambah Mirah.
Baca juga: PKS Ungkap Alasan Kini Tolak Pemerintah Potong Gaji untuk Tapera Singgung Kasus Asabri dan Jiwasraya
Sebelumnya Presiden Joko Widodo telah meneken Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2024 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2020 tentang Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) pada Senin (20/5/2024).
Dalam Pasal 15 ayat 1 PP 21/2024 diatur Besaran Simpanan Peserta ditetapkan sebesar 3 persen dari Gaji atau Upah untuk Peserta Pekerja dan Penghasilan untuk Peserta Pekerja Mandiri.
Sedangkan pada ayat 2 yakni Besaran Simpanan Peserta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk Peserta Pekerja ditanggung bersama oleh Pemberi Kerja sebesar 0,5 persen dan Pekerja sebesar 2,5 persen.
Aturan ini secara umum tidak hanya berlaku bagi pekerja swasta tetapi juga mengatur untuk ASN, TNI dan Polri yang digaji langsung oleh negara.
Iuran Tapera bagi pekerja yang menerima gaji atau upah yang bersumber dari kas negara ini akan diatur langsung oleh Kementerian Keuangan melalui koordinasi bersama dengan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi.
Sementara, iuran Tapera dari pegawai BUMN, BUMD, BUMDes dan karyawan swasta akan diatur oleh Kementerian Ketenagakerjaan. Kemudian, untuk pekerja mandiri akan diatur langsung oleh BP Tapera.