Perlu Diversifikasi Sumber Energi, Konflik Timur Tengah Berisiko Buruk ke Ekonomi Indonesia
Penyelesaian konflik menjadi krusial karena bukan hanya meringankan penderitaan masyarakat Palestina, tetapi juga mencegah dampak ekonomi global.
Penulis: Choirul Arifin
Editor: Seno Tri Sulistiyono
Laporan Wartawan Tribunnews, Choirul Arifin
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Konflik berkepanjangan di Timur Tengah selain membawa penderitaan bagi masyarakat di wilayah tersebut, juga menimbulkan dampak ekonomi yang luas bagi negara-negara dunia, termasuk Indonesia.
Karenanya, penyelesaian konflik di Timur Tengah, khususnya Israel-Palestina, harus segera dilakukan demi mencegah potensi resiko buruk terhadap perekonomian global.
Pengamat konflik Timur Tengah dan diplomasi Indonesia yang juga akademisi Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta Masyrofah mengatakan, konflik berkepanjangan di Timur Tengah bisa mengganggu perekonomian Indonesia.
Ini karena Indonesia merupakan pengimpor minyak yang didatangkan dari negara-negara di Timur Tengah.
Baca juga: Pemangkasan Produksi OPEC+ Picu Harga Minyak Dunia Lesu, WTI Anjlok Jadi 76,90 Dolar AS
“Ini menjadikan titik poin bahwa isu Palestina bukan isu yang harus berlarut-larut lagi, harus segera diselesaikan,” ujarnya di acara diskusi ;Menakar Dampak Konflik Timur Tengah bagi Indonesia' yang diselenggarakan Forum Merdeka Barat 9 via virtual, Senin, 3 Juni 2024.
Dia menjelaskan, konflik berkepanjangan hanya akan mengganggu berbagai sektor perekonomian. Misalnya mengganggu rantai pasokan barang dan jasa, yang pada akhirnya berimbas pada kenaikan harga produk dan inflasi.
Karena itu, pengakuan dari tiga negara Eropa, yakni Norwegia, Irlandia, dan Spanyol, serta pemberian hak penuh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) terhadap Palestina harus dijadikan momentum untuk penyelesaian konflik Israel-Palestina.
“Tiga negara Eropa sudah mengakui negara Palestina, ini jadi momentum bahwa isu Palestina ini harus segera diselesaikan, tidak boleh berlarut-larut lagi,” ungkap Masyrofah.
Dia menambahkan, penyelesaian konflik menjadi krusial karena bukan hanya meringankan penderitaan masyarakat Palestina, tetapi juga untuk mencegah dampak ekonomi global yang lebih luas.
Menurutnya, Indonesia dapat memainkan peran penting dengan menggunakan pengaruh diplomatiknya untuk mendorong dialog dan perundingan damai antara pihak-pihak yang berkonflik.
Salah satunya diplomasi Indonesia yang konsisten mendorong Solusi Dua Negara atau Two State Solutions antara Israel dan Palestina menjadi jalan keluar terbaik untuk mencegah konflik yang berlarut-larut.
“Two State Solutions menjadi salah satu solusi, sehingga pada akhirnya konflik ini bisa diselesaikan,” ujarnya.
Diversifikasi Sumber Energi
Namun, Masyrofah mengingatkan bahwa upaya diplomasi harus diiringi dengan langkah-langkah konkret untuk mencegah dampak buruk ekonomi yang lebih luas.
Indonesia juga harus mengupayakan diversifikasi sumber energi, memperkuat ketahanan pangan, dan mendorong perdagangan dan investasi antar negara.
“Jadi menjaga kestabilan ekonomi Indonesia sangat penting, karena dinamika geopolitik di Timur Tengah berdampak langsung ke Indonesia,” tegasnya.
Mitigasi dengan Gunakan Mata Uang Lokal
Sementara itu, Ferry Irawan, Deputi Bidang Koordinasi Ekonomi Makro & Keuangan Kemenko Perekonomian RI di kesempatan sama mengatakan, Pemerintah Indonesia berupaya memitigasi dampak konflik Timur Tengah yang berkepanjangan melalui penggunaan mata uang lokal dalam perdagangan dengan negara mitra dagang.
Upaya mitigasi semacam ini dikenal dengan skema Local Currency Settlement (LCS).
Ferry Irawan menjelaskan, pendekatan LCS merupakan bagian dari upaya mitigasi dampak konflik Timur Tengah terhadap perekonomian dunia, khususnya Indonesia.
"Timur Tengah adalah salah satu sumber energi utama dunia, sehingga setiap peningkatan harga minyak yang disebabkan oleh konflik ini berpotensi meningkatkan harga energi secara global," ujarnya.
Menurutnya, peningkatan harga energi ini dapat memicu inflasi, yang pada gilirannya berdampak pada kebijakan moneter yang diterapkan oleh berbagai negara, termasuk Indonesia.
Untuk mengatasi hal ini, kebijakan moneter, seperti penyesuaian suku bunga dan LCS dapat digunakan sebagai instrumen untuk menjaga stabilitas ekonomi.
Karena itu, strategi melalui kerja sama dengan negara-negara mitra dagang untuk memanfaatkan mata uang lokal dalam transaksi memainkan peran penting dalam mitigasi terhadap dampak buruk akibat dinamika geopolitik di Timur Tengah.
"Skema LCS ini diharapkan dapat mengurangi ketergantungan pada mata uang asing dan meningkatkan efisiensi ekonomi," ujar Ferry Irawan.
"Kami telah bekerja sama dengan negara-negara mitra dagang untuk memanfaatkan uang lokal untuk transaksi bilateral, seperti Thailand, Malaysia, Jepang, Tiongkok, hingga Korea Selatan," jelas Ferry.
Ferry menambahkan, koordinasi antara kebijakan moneter dan fiskal juga diperkuat. Bank Indonesia, sebagai bank sentral, bekerja sama dengan pemerintah dalam menggunakan berbagai instrumen untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah.
Selain langkah-langkah mitigasi jangka pendek, pemerintah juga mengimplementasikan kebijakan jangka menengah dan panjang untuk memperkuat daya saing ekonomi domestik.
Reformasi struktural, peningkatan investasi, kemudahan perizinan, dan insentif bagi investor adalah beberapa langkah yang diambil untuk memastikan ekonomi domestik memiliki ketahanan yang cukup kuat terhadap guncangan eksternal.
"Kami terus mendorong daya saing ekonomi agar saat terjadi guncangan global, ekonomi domestik tetap stabil," tambah Ferry.
Dengan memanfaatkan uang lokal dalam perdagangan internasional dan menerapkan berbagai kebijakan strategis, pemerintah Indonesia berupaya keras untuk menjaga stabilitas ekonomi nasional di tengah dinamika global yang dipicu oleh konflik di Timur Tengah.
Dengan langkah-langkah ini, Indonesia berharap dapat mengatasi tantangan yang ditimbulkan akibat konflik Timur Tengah dan memastikan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan untuk kesejahteraan rakyatnya.
Solusi Dua Negara
Dari aspek politik, Pemerintah Indonesia terus mendorong perdamaian di Timur Tengah, khususnya konflik Israel-Palestina melalui Solusi Dua Negara (Two State Solution) dengan parameter yang jelas sebagai jalan keluar dari konflik berkepanjangan di wilayah tersebut.
“Indonesia selalu konsisten mendukung kemerdekaan Palestina, kami menghendaki Two State Solution dengan parameter internasional,” ujar Direktur Jenderal Asia Pasifik dan Afrika Kementerian Luar Negeri, Abdul Kadir Jailani di acara diskusi yang sama.
Menurut Jailani, Solusi Dua Negara yang diinginkan Indonesia memiliki tiga parameter utama. Pertama, kata dia, Indonesia menginginkan berdirinya negara Palestina yang berdaulat dengan batas negara. Upaya ini telah dilakukan Indonesia sejak puluhan tahun silam.
Baca juga: Harga Minyak Dunia Melonjak Tembus 84,22 Dolar AS Per Barel, Serangan Israel ke Rafah Pemicunya
“Paling tidak batas negara yang ada sebelum Perang 1967, itu posisi kita. Termasuk juga posisi Palestina dalam perundingan,” ujarnya.
Indonesia juga menghendaki penghentian pembangunan pemukiman warga Israel di West Bank dan Gaza. Menurut dia, upaya pembangunan pemukiman tersebut harus segera dihentikan.
“Masyarakat internasional sangat prihatin karena kita ketahui bahwa Israel terus secara masif melaakukan pembangunan pemukiman Yahudi di wilayah Westbank secara masif. Dan itu yang kita tidak kehendaki,” sebutnya.
Selanjutnya adalah mengembalikan dengan penuh hak-hak bagi pengungsi Palestina akibat peristiwa pada 1948. Di mana ratusan ribu warga Palestina terusir dari tanah kelahiran mereka sejak kejadian itu.
“Kita ketahui pada peristiwa Naba pada 1948, lebih dari ratusan ribu orang Palestina telah terusir dari kota-kota dan desa-desanya. Mereka menuntut memiliki akses kembali terhadap tanah,” ujarnya.
Berikutnya, mendorong upaya agar Yerusalem sebagai ibu kota negara Palestina. Indonesia maupun beberapa negara lain telah mengecam berkali-kali terhadap keputusan sepihak Amerika Serikat yang mengakui pemindahan ibu kota Israel dari Tel Aviv ke Yerusalem.
“Selanjutnya, yang lebih penting lagi bahwa Yerusalem harus sebagai ibukota Palestina,” ujarnya menegaskan.
Meski demikian, Jailani mengakui, untuk mewujudkan Two State Solution merupakan hal yang sangat sulit, mengingat adanya penolakan dari berbagai negara, termasuk Israel dan Amerika Serikat.
Dia menegaskan, bagaimanapun Indonesia akan terus untuk mendorong Two State Solution bersama komunitas internasional sebagai upaya untuk mencapai perdamaian yang adil dan permanen di Palestina. Upaya ini sejalan dengan komitmen Indonesia untuk mendukung perjuangan rakyat Palestina dalam meraih kemerdekaannya.
“Two State Solution tidak bisa diwujudkan apabila negara lain tidak mengakui Palestina. Jadi kita perlu terus mendorong semakin banyak negara yang mengakui keberadaan negara Palestina,” ungkap Abdul Kadir Jailani.