Biaya Berusaha di Indonesia Paling Mahal di ASEAN-5, Mulai dari Logistik Hingga Tenaga Kerja
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Kamdani menyebut biaya berusaha atau investasi di Indonesia
Penulis: Endrapta Ibrahim Pramudhiaz
Editor: Hendra Gunawan
Laporan wartawan Tribunnews.com, Endrapta Pramudhiaz
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Kamdani menyebut biaya berusaha atau investasi di Indonesia serba tinggi atau mahal.
Ia mengatakan, biaya yang serba mahal ini menjadi kendala bagi pelaku usaha melakukan bisnis.
"Pelaku usaha terkendala oleh high cost doing business. Masalahnya yang masih konsisten di Indonesia ini adalah high cost economy," kata Shinta dalam acara diskusi bertajuk "Presiden Baru, Persoalan Lama" di kawasan Jenderal Sudirman, Jakarta Pusat, Selasa (25/6/2024).
Baca juga: Perbedaan Reksa Dana Pasar Uang dan Deposito Menurut Praktisi Investasi MAMI
Menurut dia, Indonesia merupakan negara yang memiliki biaya logistik, supply chain, energi, tenaga kerja, dan pinjaman termahal di antara negara ASEAN-5.
Negara-negara ASEAN-5 adalah Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, dan Thailand.
Biaya logistik perdagangan Indonesia, salah satu komponen biaya usaha yang disebut Shinta, sebesar 23,5 persen dari PDB. Ini dinilai relatif tidak efisien dan kompetitif untuk perdagangan.
Bila dibandingkan dengan beberapa negara lainnya, Indonesia terpaut cukup jauh. Contohnya seperti biaya logistik perdagangan Malaysia sebesar 13 persen dan Singapura 8 persen.
Baca juga: Ekonom Soroti Konsistensi Pernyataan Pemerintah Soal Investasi Asing di IKN
Meski Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) telah menyatakan biaya logistik perdagangan Indonesia telah turun ke 14-15 persen pada 2023, Shinta mengatakan kenyataannya berbeda.
Ia menyebut, Logistic Performance Index (LPI) 2023 memperlihatkan adanya kelemahan yang signifikan dalam performa logistik Indonesia.
"Khususnya dari segi ketepatan waktu, kualitas layanan tracking, dan efisiensi pelayanan internasional," ujar Shinta.
Biaya komponen lainnya yang Indonesia tertinggal dari negara ASEAN lainnya adalah dari sisi biaya dan waktu untuk impor dan ekspor.
Shinta mengatakan, khususnya impor, Indonesia memiliki biaya paling mahal dan waktu paling lama di antara ASEAN-5.
Biaya dan waktu untuk melakukan kegiatan impor di Indonesia sebesar 164 dolar AS dan 106 jam. Sementara itu, rata-rata ASEAN-5 sebesar 104 dolar AS dan 58 jam.
Shinta mengatakan, tingginya biaya-biaya ini menjadi disinsentif bagi Indonesia dalam upaya menjadi bagian dari global value chain dan regional value chain.
"Kita selalu mengatakan Indonesia harus menjadi bagian dari value chain, tapi ini logistik kita menjadi masalah," pungkas Shinta.