Perang Ukraina Bikin Perekonomian Uni Eropa Suram, Analis Terkenal AS Bilang Kesejahteraan Merosot
Presiden Rusia Vladimir Putin menegaskan, strategi jangka panjang Barat membendung Rusia akan merugikan perekonomian global.
Penulis: Choirul Arifin
TRIBUNNEWS.COM, WASHINGTON - Konflik berkepanjangan di Ukraina membuat perekonomian Uni Eropa melambat. Perang Rusia-Ukraina membuat kesejahteraan beberapa negara Uni Eropa merosot jatuh alias tidak akan sejahtera seperti dulu.
Analisis itu disampaikan investor ternama Amerika Serikat, Jim Rogers kepada Sputnik.
“Ini [konflik Ukraina] menyebabkan perekonomian melambat dan beberapa negara tidak akan sejahtera seperti sebelumnya,” kata Jim Rogers.
“Setiap kali orang mempunyai masalah ekonomi, mereka menyalahkan orang lain dan hal itu selalu membawa perubahan," lanjutnya.
Rogers mengatakan permasalahan yang dihadapi perekonomian global tidak hanya akan berdampak pada Eropa tetapi juga belahan dunia lainnya dalam beberapa tahun mendatang.
“Ada banyak negara di Eropa yang akan berusaha mengatasi permasalahan Eropa. Jadi mungkin akan lebih banyak negara yang akan meninggalkan Uni Eropa,” kata Jim Rogers.
Investor tersebut mencatat bahwa Inggris meninggalkan Uni Eropa meskipun beberapa orang berspekulasi bahwa langkah tersebut akan menghancurkan perekonomiannya, namun ia yakin politisi lain akan mulai "melakukan hal yang sama."
Rogers menyatakan keraguannya bahwa Uni Eropa akan bertahan mengingat hanya sedikit blok yang bertahan dalam jangka waktu yang lama.
Baca juga: Uni Eropa Kucurkan Dana Tambahan untuk Ukraina
"Kebanyakan dari mereka sudah bubar. Saya khawatir Euro akan bubar suatu hari nanti," kata Rogers.
Pada awal Juni, Dana Moneter Internasional (IMF) mengatakan perekonomian Zona Euro secara bertahap pulih dari dampak pandemi virus corona, pengurangan pasokan gas dari Rusia, dan dampak konflik Ukraina.
Namun populasi penduduk yang menua dan produktivitas yang melemah di kawasan tersebut menimbulkan risiko bagi perekonomian zona euro. pertumbuhan dalam jangka menengah.
Baca juga: Mulai Rontoknya Rezim Uni Eropa Pro-perang Ukraina
IMF memperingatkan bahwa meningkatnya ketegangan geopolitik, perselisihan perdagangan dan kebijakan industri yang terdistorsi dapat semakin mempersulit prospek perekonomian dan lingkungan pembuatan kebijakan di kawasan yang sangat terbuka terhadap perdagangan.
Sanksi Terhadap Rusia Bikin Barat Rugi Sendiri, Kehilangan 257 Miliar Dolar
Sejumlah negara Barat kompak meningkatkan tekanan sanksi terhadap Rusia setelah dimulainya operasi militer khusus di Ukraina pada tahun 2022.
Presiden Rusia Vladimir Putin menegaskan, strategi jangka panjang Barat membendung Rusia akan merugikan perekonomian global.
Akibat pembatasan perdagangan oleh Barat terhadap Rusia membuat perusahaan-perusahaan Rusia untuk fokus pada pasar di negara-negara Selatan yang memiliki daya beli yang sangat besar.
Importir dari negara-negara yang tidak bersahabat menerima lebih sedikit barang-barang Rusia sebesar $256,5 miliar.
Sementara Rusia berhasil menjual barang-barang tersebut ke negara-negara lain dan memperoleh keuntungan hampir 31 miliar dolar berdasarkan penghitungan data oleh Sputnik.
Berdasarkan statistik perdagangan, nilai ekspor Rusia ke negara-negara yang tidak bersahabat tidaklah merata. Ada beberapa barang yang tumbuh, ada pula yang menyusut.
Rusia mengalami peningkatan ekspor dibandingkan periode sebelum sanksi, dengan perusahaan-perusahaan memperoleh tambahan 31 miliar dolar AS dari perdagangan dengan negara-negara sahabat, menurut data dari Layanan Bea Cukai Federal.
Importir Barat sebagian besar kekurangan pasokan mineral Rusia senilai 107 miliar dolar AS, perhiasan 38 miliar dolar AS dan logam 21 miliar dolar AS.
Rusia telah berulang kali menekankan bahwa mereka senang melakukan perdagangan dengan negara-negara sahabat setelah sanksi ekonomi Barat dan memperingatkan bahwa tindakan pembatasan ini akan menjadi bumerang, memicu inflasi dan memicu krisis biaya hidup.
Pada bulan Januari-Februari perdagangan antara Rusia dan Tiongkok tumbuh 9,3 persen dengan ekspor dari Rusia melebihi 20 miliar dolar AS.
Sebelumnya, Vladimir Putin dan Xi Jinping menetapkan tujuan untuk menggandakan perdagangan bilateral. Target tersebut tercapai pada November 2023.