Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun Bisnis

Kebutuhan Pangan RI Masih Dipenuhi Impor, Ini Dampaknya ke Kantong Masyarakat Saat Rupiah Melemah

Besarnya ketergantungan impor pangan dan energi berdampak pada stabilitas harga pangan serta BBM dan gas.

Penulis: Dennis Destryawan
Editor: Seno Tri Sulistiyono
zoom-in Kebutuhan Pangan RI Masih Dipenuhi Impor, Ini Dampaknya ke Kantong Masyarakat Saat Rupiah Melemah
TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN
Pembeli memilih daging yang dijual di Pasar Senen, Jakarta. Volume impor daging sapi, yaitu sekitar 25-30 persen dari seluruh daging sapi yang dikonsumsi di Indonesia 

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Dennis Destryawan

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Anggota Komisi VI DPR RI Amin Ak mengingatkan pemerintah soal dampak melemahnya nilai tukar rupiah terhadap perekonomian rakyat, terutama di sektor pangan dan energi.

Amin menyampaikan, besarnya ketergantungan impor pangan dan energi berdampak pada stabilitas harga pangan serta BBM dan gas.

Sejumlah komoditas pangan yang ketergantungan impornya tinggi antara lain kedelai, gula, bawang putih, daging sapi, dan gandum.

"Pada tahun 2021, Indonesia mengimpor sekitar 2,49 juta ton kedelai senilai 1,48 miliar dolar AS. Kemudian gula pasir impor memenuhi sekitar 65-70 persen kebutuhan gula pasir di Indonesia. Sedangkan bawang putih, sekitar 90-95 persen juga berasal dari impor," ujar Amin saat dikonfirmasi wartawan, Rabu (3/7/2024).

Baca juga: Laju IHSG Pagi Ini Fluktuatif, Kurs Rupiah Melemah di Posisi Rp16.370 per Dolar AS

Komoditas pangan yang ketergantungan volume impornya paling banyak, imbuhnya, adalah gandum.

Setiap tahun, Indonesia mengimpor sekitar 10 hingga 11 juta ton gandum. Komoditas ini kemudian diolah menjadi tepung terigu, yang merupakan bahan baku untuk produk pangan seperti mi instan dan roti.

Berita Rekomendasi

"Komoditas lain yang volume impornya tinggi adalah daging sapi, yaitu sekitar 25-30 persen dari seluruh daging sapi yang dikonsumsi di Indonesia. Selain komoditas tersebut, pemerintah juga tidak konsisten soal beras yang sering tiba-tiba diputuskan untuk impor," kata Amin.

Selain pangan, kata Amin, sektor-sektor yang terdampak oleh penguatan Dolar AS antara lain farmasi, otomotif, elektronik, dan tekstil. Barang-barang kebutuhan akan semakin mahal, yang berarti membuat daya beli masyarakat melemah.

Padahal, konsumsi masyarakat selama ini menjadi penopang utama pertumbuhan ekonomi nasional.

"Jika tidak secepatnya diambil langkah-langkah tepat, Indonesia bisa masuk ke dalam situasi instabilitas harga maupun pasokan komoditas pangan. Bukan hanya itu, masyarakat juga akan merasakan ekonomi biaya tinggi akibat depresiasi nilai tukar rupiah," tegas Amin.

Yang juga harus diwaspadai, lanjut Amin, adalah kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) dan gas, karena kurs rupiah merupakan salah satu faktor penentu harga BBM yang ditetapkan oleh badan usaha migas.

Jika Dolar AS terus menguat, harga minyak akan melonjak, subsidi terpaksa dipangkas, dan harga BBM akan naik.

"Berdasarkan kajian, ketika nilai tukar rupiah terdepresiasi sekitar 10 persen, harga BBM di pom bensin akan naik. Meroketnya inflasi impor biasanya akan mengorbankan harga BBM menjadi lebih mahal. Jika kondisi ini terjadi, daya beli masyarakat akan tergerus, pertumbuhan ekonomi akan melambat, dan angka kemiskinan akan meningkat," kata Amin.

Inflasi dalam negeri, ujarnya, akan naik secara signifikan, daya beli tertekan, pertumbuhan ekonomi terhambat, dan kemiskinan semakin meningkat.

"Melemahnya nilai tukar rupiah juga berdampak pada para pelaku usaha, termasuk usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang komponen impor pada bahan bakunya tinggi. Biaya produksi mereka dapat meningkat karena harga komoditas dasar yang diimpor dari luar negeri naik, yang pada akhirnya memengaruhi bisnis mereka," imbuh Amin.

Melemahnya nilai tukar rupiah terhadap Dolar AS, tambahnya, juga bisa berdampak pada APBN, dengan belanja pemerintah membengkak, terutama untuk belanja energi dan pertahanan yang terkait dengan impor.

Selain itu, pembayaran cicilan utang dan bunga dalam mata uang Dolar akan menjadi lebih mahal, yang pada akhirnya memperkecil ruang fiskal anggaran negara.

Belanja APBN akan lebih membengkak karena asumsi Dolar AS digunakan untuk belanja pemerintah yang terkait impor, serta cicilan utang dan bunga yang menjadi lebih tinggi. Artinya, ruang fiskal mengecil dan sektor riil terdampak karena belanja pemerintah berkurang.

"Saya khawatir, situasi yang tampak baik di permukaan, pada akhirnya akan menjadi bom waktu bagi pemerintahan baru nanti. Begitu dilantik, terlalu banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Ini akan mempengaruhi efektivitas kerja pemerintahan ke depan," terang Amin.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas