Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun Bisnis

Kemenperin Catat Terjadi Penurunan Keterlibatan Indonesia dalam Rantai Pasok Global

Pada tahun 2000, rasio partisipasi forward GVC Indonesia mencapai 21,5 persen, yang kemudian turun menjadi 12,9 persen di tahun 2017.

Penulis: Lita Febriani
Editor: Seno Tri Sulistiyono
zoom-in Kemenperin Catat Terjadi Penurunan Keterlibatan Indonesia dalam Rantai Pasok Global
Lita Febriani
Direktur Akses Sumber Daya Industri dan Promosi Internasional Kementerian Perindustrian Syahroni Ahmad, di Kantor Kementerian Perindustrian, Jakarta, Jumat (12/7/2024). 

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Lita Febriani

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Partisipasi Indonesia dalam rantai suplai global atau Global Value Chain (GVC) terus mengalami penurunan, baik forward linkage maupun backwards linkage.

Pada tahun 2000, rasio partisipasi forward GVC Indonesia mencapai 21,5 persen, yang kemudian turun menjadi 12,9 persen di tahun 2017.

Selama periode yang sama, rasio partisipasi backward GVC Indonesia juga turun dari 16,9 persen pada tahun 2000 menjadi 10,1 persen tahun 2017.

Baca juga: Sebanyak 58 Persen Perusahaan di Indonesia Sudah Transformasi Digital Manajemen Rantai Pasok

"Jadi forward GVC ini adalah kita memasukkan nilai tambah domestik dengan cara mengekspor produk intermediate ke negara lain. Jadi produksinya di negara lain, kita ekspor bahan-bahan bakunya, bahan-bahan penolong bahan antara, yang mengerjakan finalnya di negara lain," jelas Direktur Akses Sumber Daya Industri dan Promosi Internasional Kementerian Perindustrian Syahroni Ahmad, Jumat (12/7/2024).

Sementara backward linkage, ketika Indonesia impor bahan baku, impor bahan antara, produk-produk antara, kemudian diolah di dalam negeri, sehingga menjadi barang jadi, lalu ekspor.

"Jadi baik forward maupun backward, kita keduanya mengalami penurunan dalam hal partisipasi Indonesia di global value chain," tutur Roni.

Berita Rekomendasi

Untuk rasio partisipasi Indonesia pada forward GVC lebih tinggi dibandingkan backward GVC. Ini menunjukkan bahwa Indonesia masih lebih banyak terlibat pada aktivitas di hulu atau upstream.

"Jadi apabila kita petakan dalam smile curve, keterlibatan Indonesia dalam GVC masih didominasi pada aspek produksi yang berada di rantai suplai atau nilai. Produksi ini hanya 20 persen dari proses industri. Pada aspek R&D, yang perannya lebih sentral atau lebih strategis dengan persentase 40 persen dan memiliki nilai keamanan lebih besar dalam GVC, Indonesia masih kurang," kata Roni.

Hal inilah yang membedakan bagaimana negara maju dan negara berkembang terlibat dalam sebuah GVC. Di mana negara maju lebih banyak berkontribusi pada aspek R&D, desain, pemasaran dan siasat.

"Jadi kalau kita balik melihat di dalam smile curve tersebut, R&D, kemudian desain dan purchasing itu nilainya 40 persen, production atau manufacturing itu 20 persen dan sisanya distribution, marketing, services itu 40 persen. Jadi nilai tambah kita sebagai production base di kisaran 20 persen. Nah inilah yang biasa menjadi tempat atau lokasi di negara-negara berkembang," terang Roni.

Sebagai contoh, perusahaan sepatu Nike asal Amerika yang tidak punya pabrik sepatu di negaranya. Produksinya justru dikerjakan oleh negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Tapi Nike mengerjakan desain, di mana nilai tambahnya menjadi mereka punya lebih besar.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas