Pembangunan IKN Disebut Hanya Rusak Lingkungan Hingga ke Sulteng, Sampah di Kaltim Bakal Naik 2 Ton
Sampah di Kaltim harus dikelola dengan baik sebab dipastikan sejak 10 Agustus 2024 aktivitas IKN akan semakin padat.
Editor: Seno Tri Sulistiyono
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara di Kalimantan Timur, disebut hanya merusak lingkungan dan memenuhi hasrat kelompok elite.
Kerusakan lingkungan akibat pembangunan IKN, bahkan disebut tidak hanya terjadi di Kalimantan Timur saja tetapi sampai ke Sulawesi Tenggara (Sulteng).
Jaringam Advokasi Tambang (JATAM) memaparkan, bahan material untuk pembangunan IKN banyak dipasok dari Sulteng, misalnya tambang Galian C.
Dalam catatan JATAM Sulteng, izin pertambangan yang berstatus Operasi Produksi di Kota Palu berjumlah 34 Izin dan untuk Kabupaten Donggala Izin Usaha Pertambangan yang berstatus Operasi Produksi berjumlah 54 Izin.
Baca juga: Aturan Upacara HUT ke-79 RI di Jakarta dan IKN pada 17 Agustus 2024
Tercatat, Sulteng berkontribusi ke pembangunan di IKN paling menonjol sebagai wilayah penyuplai utama material bahan baku pembangunan, baik berupa batu, pasir kerikil serta bahan lainnya.
JATAM menilai kegiatan pertambangan bersifat ekstraktivisme merubah bentangan alam, salah satu risikonya ialah bencana alam seperti banjir dan longsor.
Belum lagi, data yang dirilis Kantor Stasiun Pemantau Atmosfer Global Lore Lindu Bariri, Palu, Sulteng pada Rabu 1 Mei 2024, menunjukkan bahwa partikel debu halus meningkat.
Pengukuran kualitas udara kala itu, menunjukkan peningkatan partikel debu halus PM2,5 atau yang berukuran lebih kecil dari 2,5 mikrometer dengan nilai 69 µgram/m3 atau masuk kategori ‘tidak sehat’.
Nilai itu didapat dari pemantauan yang dilakukan pada pukul 14.48–14.58 Wita.
Nilai PM2,5 itu jauh lebih tinggi dari nilai ambang normal bagi kesehatan yakni 15 µgram/m3.
Peningkatan partikel juga terjadi pada PM10 dengan nilai 46 µgram/m3. Nilai itu meski disebut masih dalam kategori baik namun nilainya lebih tinggi dibanding hari-hari biasa.
Nilai ambang batas PM10 sendiri yakni 40 µgram/m3.
Menurut SPAG Lore Lindu-Bariri, efek jangka pendek akibat PM2.5 yang diambang batas bisa memicu penyakit jantung, paru-paru, bronkitis, dan serangan asma.
Bayi, anak-anak, dan orang dewasa yang lebih tua rentan terhadap dampak tersebut.