Rugikan Industri Tembakau, Rancangan Permenkes Diduga Banyak Memuat Pasal Titipan
PP 28/2024 dan RPMK sedang menjadi sorotan karena dinilai merugikan industri hasil tembakau, termasuk peritel, petani, tenaga kerja, dan lainnya.
Penulis: Endrapta Ibrahim Pramudhiaz
Editor: Sanusi
Laporan wartawan Tribunnews.com, Endrapta Pramudhiaz
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Gabungan Pengusaha Rokok Putih Indonesia (GAPPRI) menduga Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) yang merupakan turunan dari Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan memuat banyak pasal titipan.
PP 28/2024 dan RPMK sedang menjadi sorotan karena dinilai merugikan industri hasil tembakau, termasuk peritel, petani, tenaga kerja, dan lainnya.
Baca juga: Pengusaha Sebut PP 28/2024 Berpotensi Gerus Kinerja Industri dan Ekonomi RI, Ini Penjelasannya
Sekretaris Jenderal GAPPRI Willem Petrus Riwu memandang bahwa RPMK ini lebih merupakan hasil dari "titipan" yang tidak mempertimbangkan dampak menyeluruh terhadap berbagai pihak terkait.
Ia menduga hal itu karena menurut dia pemangku kepentingan di rantai pasok tembakau sangat minim dilibatkan.
Bahkan, Wempy, sapaan akrabnya, menyebut bahwa masukan mereka tidak diakomodir sama sekali.
“ini jelas mau mematikan kretek. Ada hitungan kerugian, tapi pihak perumus PP ini tidak berdasarkan data yang andal dan ilmiah. Hanya titipan pasal saja,” kata Wempy, sapaan akrabnya, dikutip dari keterangan tertulis pada Jumat (13/9/2024).
“Hal ini juga tercermin dalam minimnya partisipasi pihak yang terdampak dalam proses pembahasan regulasi,” lanjutnya.
Wempy berharap adanya proses perumusan aturan yang lebih melibatkan data ilmiah. Ia meminta adanya peninjauan ulang terhadap PP 28/2024.
Baca juga: Tolak PP 28/2024, Asosiasi hingga Pelaku Industri Surati Jokowi dan Prabowo, Ini Isi Lengkapnya
Harapannya, regulasi yang diterapkan bisa mempertimbangkan keberlangsungan industri tembakau dan kesejahteraan para petani yang berada dalam ekosistem pertembakauan nasional.
Adapun dalam PP 28/2024, ada peraturan soal kebijakan restriktif zonasi larangan penjualan dan iklan luar ruang produk tembakau.
Sementara itu, dalam RPMK, Wempy menyebut ada kebijakan yang akan mewajibkan kemasan rokok harus polos tanpa merek.
Kebijakan kemasan itu dinilai mampu memicu pemalsuan produk dan memperkuat serta memicu pertumbuhan pasar rokok ilegal.
Baca juga: Babak Belur Industri Tembakau: Dihantam Lonjakan Tarif Cukai, Kini Oleh PP 28/2024
Saat ini, berdasarkan data yang ia miliki, pasar rokok ilegal diperkirakan telah mencapai 20-35 miliar batang.
Jika peraturan kemasan rokok polos tanpa merek diberlakukan, nantinya akan mendorong rokok ilegal makin marak.
“Fenomena downtrading (peralihan konsumsi ke rokok murah) pada 2024 tidak terlalu berbahaya saat ini, justru rokok ilegal yang saat ini mencapai 20-35 miliar tidak terkendali,” ucap Wempy.
Selain itu, RPMK dan PP 28/2024 pun dinilai bakal berdampak besar pada mata rantai produksi dan distribusi yang mayoritas merupakan UMKM.
Lebih lanjut, regulasi ini, yang juga akan membatasi tar dan nikotin, dinilai berpotensi merugikan berbagai pihak dalam industri tembakau, terutama rokok kretek.
Pengaturan kadar tar dan nikotin disebut dapat menyebabkan dampak negatif pada mata pencaharian petani tembakau dan cengkeh.
“Keterbatasan dalam kadar tar dan nikotin dapat mempengaruhi hasil panen dan pendapatan petani, yang dapat berujung pada kemiskinan baru di kalangan mereka,”
Bagi dia, peraturan non-fiskal dalam PP 28/2024 tidak seharusnya diberlakukan karena akan menambah tekanan pada industri dan petani tembakau.
Wempy pun meminta pemerintah tidak menaikkan tarif cukai hingga 2027 agar meringankan beban industri tembakau.