Tegas Tolak Pasal-Pasal Eksesif, Serikat Pekerja: Tenaga Kerja Tembakau Paling Terdampak
Rencana kebijakan ini akan membuat industri rokok makin kesulitan, muaranya tentu pendapatan perusahaan berkurang, sehingga bisa berujung pada PHK
Penulis: Matheus Elmerio Manalu
Editor: Vincentius Haru Pamungkas
TRIBUNNEWS.COM - Wakil Ketua Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan Minuman Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSP RTMM-SPSI) Andreas Hua secara tegas menolak pasal-pasal eksesif terkait industri hasil tembakau yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 (PP 28/2024) serta rencana aturan turunannya melalui Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes). Penolakan dilakukan terhadap proses penyusunan yang minim partisipasi publik, terburu-buru, serta tidak memperhatikan dampak ekonomi dan realitas penyerapan tenaga kerja di lapangan.
Yang menariknya, polemik ini bisa mereda karena baru-baru ini diberitakan bahwa Anggota Komisi IX DPR RI Nurhadi mengatakan Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin sendiri sudah memutuskan untuk menunda Rancangan Permenkes tersebut.
Menurut Andreas, sejatinya FSP RTMM-SPSI sendiri sudah berulangkali dengan tegas menolak PP 28/2024 dan Rancangan Permenkes yang tidak implementatif di lapangan. Seolah tanpa hasil hingga saat ini, Andreas pun menuangkan keresahannya dalam forum diskusi Ruang Rembuk bertajuk ‘Dampak Polemik Regulasi Nasional terhadap Ekosistem Pertembakauan Jawa Tengah’ yang digelar di Surakarta, Jawa Tengah, Kamis (14/11/2024).
Ia memaparkan seberapa besar kontribusi industri tembakau dalam hal ketenagakerjaan di Jawa Tengah. Salah satunya terlihat dari jumlah tenaga kerja yang tergabung dengan FSP RTMM-SPSI di Jawa Tengah, yang hampir mencapai 100.000 orang.
“Total tenaga kerja yang bergabung dengan RTMM di Jawa Tengah mencapai 99.177 orang per Mei 2024 dengan 90 persennya perempuan. 78 persen ada di Kudus. Kudus sendiri 77.263 pekerja. Para perempuan ini justru menjadi tulang punggung perekonomian keluarga,” kata Andreas dalam diskusi itu.
Andreas juga mengklaim bahwa tidak semua pekerja di sektor Industri Hasil Tembakau (IHT) tergabung dalam RTMM. Dengan kata lain, total keseluruhan tenaga kerja IHT di Jawa Tengah pastinya lebih besar dari angka tersebut.
Menyikapi PP 28/2024 dan Rancangan Permenkes, Andreas menuturkan keterlibatan para pekerja di sektor tembakau sangatlah minim, sekalipun sudah berulang kali meminta ruang diskusi.
“Kami terus meminta untuk dilibatkan. Tanggal 10 Oktober kemarin, kami mendatangi Kemenkes dan ditemui oleh salah satu Direkturnya. Kami dijanjikan keterlibatan dalam proses pembahasan, tapi sampai hari ini tidak terjadi juga,” cerita Andreas.
Baca juga: Pengamat: Minimnya Perlindungan Bagi Petani Tembakau Akibat Kemasan Polos Makin Tekan Industri Rokok
Kebijakan penyeragaman kemasan tanpa identitas merek bisa berujung pada PHK
Dalam forum diskusi ini, Andreas juga menyoroti potensi dampak rencana penyeragaman kemasan rokok tanpa identitas merek yang tertera pada Rancangan Permenkes.
Andreas menjelaskan berdasarkan Rancangan Permenkes terakhir yang RTMM dapatkan dari Kemenkes, kemasan rokok semua akan mengalami penyeragaman, harus menggunakan warna hijau zaitun Pantone 448C beserta beberapa ketentuan lainnya yang melarang penggunaan identitas merek seperti warna, logo, dan elemen-elemen lainnya.
“Tulisan merek disebut masih boleh, tapi harus menggunakan font Arial ukuran 8. Itu kecil sekali, hanya secuil. Tentu kami keberatan soal ini. Namun jawaban Kemenkes sama, akan dipertimbangkan,” jelasnya soal penyeragaman kemasan rokok tanpa identitas merek yang akan diatur dalam Rancangan Permenkes.
Maka itu, Andreas pun mengaku khawatir rencana kebijakan ini akan membuat industri makin kesulitan. Muaranya tentu pendapatan perusahaan berkurang, sehingga bisa berujung pada pengurangan karyawan atau PHK.