Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun Bisnis

Pemerintah Akui Harga Beras di Indonesia Termahal di ASEAN, Ini Penyebabnya

Pendapatan rata-rata petani kecil di Indonesia kurang dari satu dolar AS sehari atau 341 dolar AS setahun. 

Penulis: Endrapta Ibrahim Pramudhiaz
Editor: Seno Tri Sulistiyono
zoom-in Pemerintah Akui Harga Beras di Indonesia Termahal di ASEAN, Ini Penyebabnya
Tribunnews.com
Ilustrasi. Bank Dunia atau World Bank mengungkap harga beras di Indonesia konsisten lebih tinggi dibanding negara-negara ASEAN lainnya.  

Laporan wartawan Tribunnews.com, Endrapta Pramudhiaz 

TRIBUNNEWS.COM, BALI - Pemerintah melalui Badan Pangan Nasional (Bapanas) mengakui harga beras di Indonesia sedang dalam posisi yang tinggi. 

Sebelumnya, Bank Dunia atau World Bank mengungkap bahwa harga beras di Indonesia konsisten lebih tinggi dibanding negara-negara ASEAN lainnya. 

Direktur Distribusi dan Cadangan Pangan Bapanas Rachmi Widiriani pun membenarkan pernyataan Bank Dunia tersebut. 

"Kalau kita perhatikan memang betul harga beras di dalam negeri saat ini tinggi," katanya kepada wartawan di Bali, dikutip Jumat (20/9/2024). 

Baca juga: Harga Beras di Indonesia Konsisten Lebih Mahal Dibanding Negara ASEAN Lain

Rachmi berdalih harga beras di Indonesia termahal di ASEAN karena biaya produksi yang sudah tinggi. 

"Memang biaya produksinya juga sudah tinggi, sehingga kalau kita runut dari cost structure produksi beras di dalam negeri, kalau kita perhatikan memang tinggi," ujarnya. 

BERITA REKOMENDASI

Meski harga di konsumen tinggi, ia memandang ini justru membuat petani bahagia karena bisa mendapatkan keuntungan. 

Rachmi menyebut petani bahagia karena harga gabah mereka dibeli di atas Harga Pembelian Pemerintah (HPP). 

Kemudian, Nilai Tukar Petani (NTP) petani khususnya tanaman pangan saat ini juga disebut sedang bagus. 

"Mungkin dalam 10 tahun terakhir saat ini NTP petani untuk tanaman pangan (paling) tinggi," ucap Rachmi. 

Menurut Rachmi, itu artinya pemerintah hadir di tengah-tengah antara petani dan konsumen. 


"Petani mendapatkan harga bagus, kemudian di konsumen juga masyarakat dapat mengakses beras dengan harga yang terjangkau dengan kualitas yang baik," tutur Rachmi. 

Sebelumnya, Bank Dunia atau World Bank mengungkap harga beras di Indonesia konsisten lebih tinggi dibanding negara-negara ASEAN lainnya. 

Akibatnya, kata Country Director untuk Indonesia dan Timor-Leste, East Asia and Pacific dari World Bank Carolyn Turk, konsumen Indonesia harus membayar makanan mereka lebih mahal karena harga beras yang tinggi. 

"Kami memperkirakan bahwa konsumen Indonesia membayar hingga 20 persen lebih mahal untuk makanan mereka daripada yang seharusnya mereka bayar di pasar bebas," katanya ketika memberi sambutan di acara Indonesia International Rice Conference 2024 yang berlangsung di Bali International Convention Center, Kamis (19/9/2024).

Di saat harga beras di Indonesia menjadi yang termahal, petani di RI justru mendapatkan pendapatan yang rendah. 

Carolyn menyebut kebanyakan pendapatan petani marjinal seringkali jauh di bawah upah minimum sampai di bawah garis kemiskinan.

"Bercocok tanam padi di Indonesia secara umum menghasilkan keuntungan yang cukup rendah. Hampir 87 persen petani Indonesia memiliki lahan kurang dari dua hektare dan dalam kelompok ini dua pertiganya memiliki lahan kurang dari setengah hektare," ujarnya. 

Merujuk hasil survei Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2021, Carolyn mengatakan pendapatan rata-rata petani kecil di Indonesia kurang dari satu dolar AS sehari atau 341 dolar AS setahun. 

Survei tersebut juga menyoroti bahwa pendapatan dari bercocok tanam tanaman pangan, khususnya padi, jauh lebih rendah daripada pendapatan dari tanaman perkebunan atau dari pertanian hortikultura

"Jadi, keuntungan yang diperoleh dari bercocok tanam padi rendah. Di sisi lain, konsumen membayar harga beras yang tinggi," tutur Carolyn. 

Menurut dia, harga beras di Indonesia bisa mahal karena sebagian disebabkan oleh beberapa kebijakan yang mendistorsi harga, sehingga menaikkan harga produksi dan melemahkan daya saing pertanian.

"Distorsi harga juga dapat disebabkan oleh tindakan non-tarif yang melampaui pembatasan kuantitatif impor," jelas Carolyn. 

 

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas