Dikritik Banyak Pihak karena Kembali Buka Keran Ekspor Sedimen Laut, Kemendag: KKP Motor Utamanya
Jokowi resmi membuka kembali ekspor hasil sedimentasi laut dengan terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023
Penulis: Endrapta Ibrahim Pramudhiaz
Editor: Sanusi
Laporan wartawan Tribunnews.com, Endrapta Pramudhiaz
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kebijakan Kementerian Perdagangan (Kemendag) membuka kembali ekspor pasir hasil sedimentasi di laut menuai kritik dari banyak pihak.
Enggan dikambinghitamkan, Staf Ahli Menteri Perdagangan Bidang Perdagangan Internasional Kemendag Bara Krishna Hasibuan mengatakan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) merupakan motor utama dari dibukanya keran ekspor ini.
Ia menjelaskan peran Kemendag di sini hanya memberikan izin ekspor.
Baca juga: Anggota DPR Sebut Kebijakan Jokowi Buka Ekspor Sedimen Hanya Rugikan Nelayan dan Merusak Alam
Agar bisa mendapatkan izin ekspor, perusahaan harus memenuhi sejumlah persyaratan dari kementerian teknis lain.
Kementerian teknis yang lainnya itu ada KKP, di mana mereka menentukan apakah sedimen tersebut bisa diekspor atau tidak.
Setelah itu, ada juga persyaratan dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang juga harus dipenuhi perusahaan ketika ingin mengekspor sedimen laut.
"Secara teknis itu ada dua kementerian. KKP motor utamanya, kemudian ESDM, baru nanti ke kita yang final," kata Bara ketika ditemui di kantor Kemendag, Jakarta Pusat, Senin (23/9/2024).
"Kalau di kita itu hanya kita mengecek dokumennya apakah semua rekomendasi sudah dipenuhi, baru kita berikan izin. Begitu saja," lanjutnya.
"Mereka memiliki kunci. Mereka menentukan perusahaan-perusahaan mana saja yang qualified untuk bisa melakukan ekspor," ucap Bara.
Staf Khusus Menteri Kelautan dan Perikanan, Doni Ismanto mengatakan, pihaknya tidak pernah memberikan pernyataan terkait ekspor pasir laut.
"Beda lah (dengan peraturan sebelumnya), kalau PP 26/2023 tujuannya jelas untuk menjaga ekologi dan meningkatkan daya dukung ekosistem laut," kata Doni.
Doni menjelaskan hasil sedimentasi di laut adalah sedimen di laut berupa material alami yang berasal dari proses pelapukan dan erosi yang terdistribusi oleh dinamika aktivitas kelautan atau oseanografi dan terendapkan, yang bisa diambil untuk mencegah terjadinya gangguan ekosistem dan pelayaran.
Hasil sedimentasi di laut yang dapat dimanfaatkan berupa pasir laut dan/atau material sedimen lain berupa lumpur. Jadi, dia menilai sedimentasi itu bukan selalu pasir laut.
"Pasir Laut adalah bahan galian pasir yang terletak di bawah wilayah perairan Indonesia yang tidak mengandung unsur mineral golongan A dan/atau golongan B dalam jumlah yang berarti ditinjau dari segi ekonomi pertambangan. Beda kan?" jelasnya.
Sebagaimana diketahui, Presiden Joko Widodo (Jokowi) resmi membuka kembali ekspor hasil sedimentasi laut dengan terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut, Mei 2024.
Menteri Perdagangan (Mendag) Zulkifli Hasan kemudian menerbitkan aturan turunannya, yakni Permendag Nomor 20 Tahun 2024 dan Permendag Nomor 21 Tahun 2024 yang menjadi penanda dibuka keran ekspor pasir laut.
Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kemendag Isy Karim mengatakan, ekspor pasir laut hanya dapat dilakukan setelah kebutuhan dalam negeri terpenuhi.
“Ekspor hasil sedimentasi di laut berupa pasir laut dapat ditetapkan sepanjang kebutuhan dalam negeri terpenuhi dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan,” kata Isy dikutip dari keterangan tertulis, Selasa (10/9/2024).
Ketika hendak mengekspor sedimen laut, eksportir perlu memenuhi ketentuan-ketentuan seperti Eksportir Terdaftar (ET), memiliki Persetujuan Ekspor (PE), dan terdapat Laporan Surveyor (LS).
Agar dapat ditetapkan sebagai ET oleh Kemendag, pelaku usaha dan eksportir wajib memperoleh Izin Pemanfaatan Pasir Laut dari Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Pelaku usaha dan eksportir juga wajib memperoleh Izin Usaha Pertambangan untuk Penjualan dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral agar bisa ditetapkan sebagai ET.
Selain itu, pelaku usaha dan eksportir wajib membuat surat pernyataan bermeterai yang menyatakan bahwa pasir hasil sedimentasi di laut yang diekspor berasal dari lokasi pengambilan sesuai titik koordinat yang telah diizinkan berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Setelah memenuhi persyaratan sebagai ET, pelaku usaha dan eksportir dapat melengkapi syarat untuk memperoleh PE.
Syaratnya, yaitu wajib memiliki Rekomendasi Ekspor Pasir Hasil Sedimentasi di Laut dari KKP dan telah memenuhi kebutuhan dalam negeri melalui mekanisme domestic market obligation (DMO).
Jenis sedimen yang dilarang diekspor diatur dalam Permendag Nomor 20 Tahun 2024.
Dikhawatirkan Berdampak Buruk
Ekspor sedimen dikhawatirkan menimbulkan dampak buruk terhadap lingkungan.
Pengamat maritim Indonesia dari Ikatan Keluarga Besar Alumni Lemhannas Strategic Center (ISC), Capt. Marcellus Hakeng Jayawibawa menerangkan, secara teknis, sedimen adalah material yang terakumulasi di dasar laut, yang terdiri dari berbagai partikel, termasuk pasir.
"Meskipun istilahnya berbeda, proses pengambilan sedimen dalam jumlah besar tetap melibatkan pengangkatan material dari dasar laut," ujar Marcellus saat dihubungi Tribunnews, Selasa (17/9/2024).
Menurutnya, hal tersebut dapat menyebabkan kerusakan ekosistem pesisir.
Pengambilan sedimen yang berlebihan berpotensi menyebabkan perubahan topografi dasar laut dan mengganggu keseimbangan ekologi, seperti erosi pantai yang berakibat pada degradasi habitat laut dan ancaman terhadap kehidupan laut
"Pengambilan sedimen laut secara signifikan juga bisa merusak ekosistem yang sensitif, seperti terumbu karang, padang lamun, dan mangrove," terang Marcellus.
Selain itu, berpotensi pula menutupi habitat-habitat penting.
Terumbu karang, misalnya, sangat bergantung pada perairan yang bersih dan jernih, sementara kehadiran sedimen berlebih dapat memblokir sinar matahari yang dibutuhkan oleh alga simbiotik untuk melakukan fotosintesis, sehingga mengancam kelangsungan hidup terumbu karang.
"Dampak jangka panjangnya dapat berupa penurunan keanekaragaman hayati laut dan berkurangnya populasi ikan, yang secara langsung mempengaruhi nelayan lokal yang bergantung pada ekosistem ini," terang Marcellus.
Selain dampak ekologi, menurutnya, pengambilan sedimen juga bisa mempercepat erosi garis pantai.
Sedimen di dasar laut memainkan peran penting dalam menstabilkan pantai dan melindunginya dari erosi alami.
Pengangkatan sedimen dalam skala besar dapat melemahkan fondasi alami pantai, mempercepat proses erosi, dan menyebabkan hilangnya daratan, terutama di wilayah pesisir yang rentan.
"Bagi masyarakat pesisir, erosi pantai ini bisa mengancam permukiman, infrastruktur, dan mata pencaharian mereka. Selain itu, kerusakan lingkungan yang terjadi akibat erosi bisa mengakibatkan biaya rehabilitasi yang sangat tinggi, baik secara ekonomi maupun ekologi, dan ini akan memerlukan intervensi jangka panjang dari pemerintah," katanya.
Ditolak Anggota DPR
Anggota Komisi IV DPR RI Saadiah Uluputty menolak ekspor sedimen yang dibuka kembali oleh pemerintah.
Sebab, menjadi ancaman terhadap ekosistem laut yang sudah rentan, serta ancaman terhadap mata pencaharian ribuan nelayan dan masyarakat pesisir.
"Ekspor pasir laut merupakan langkah mundur dalam komitmen kita untuk melestarikan ekosistem laut," ujar Saadiah di Jakarta, dikutip Senin (23/9/2024).
Dia mengatakan, kebijakan yang membuka ruang ekspor laut hanya akan memicu kerusakan lingkungan yang lebih parah, seperti abrasi pantai, hilangnya habitat biota laut, hingga penurunan hasil tangkapan nelayan yang bergantung pada ekosistem sehat.
Penolakan ini diperkuat dengan laporan dari berbagai daerah pesisir yang khawatir bahwa pengerukan pasir laut akan memperparah masalah lingkungan yang sudah ada.
Dia mencontohkan, Di Kabupaten Bintan, nelayan tradisional dengan keras menolak kebijakan ini karena telah mengalami penurunan hasil tangkapan akibat sedimentasi dan kerusakan ekosistem.
"Air laut jadi keruh, ikan kabur, hasil tangkapan nelayan turun drastis. Ini sangat merugikan para nelayan-nelayan yang terkena dampak pengerukkan pasir laut," terang Saadiah.
Saadiah menekankan, pemerintah seharusnya memprioritaskan rehabilitasi lingkungan pesisir dan laut.
Kerusakan yang disebabkan oleh ekspor pasir laut di masa lalu, seperti yang terjadi pada Pulau Nipa yang hampir tenggelam, harus menjadi pelajaran bahwa ekosistem laut sangat rentan terhadap eksploitasi.
"Pemerintah harus segera meninjau kembali kebijakan ini dan menghentikan semua rencana ekspor pasir laut. Kita butuh kebijakan yang berpihak pada lingkungan dan kesejahteraan masyarakat pesisir, bukan kebijakan yang memperburuk kerusakan alam," imbuhnya.