Minyak Dunia Anjlok, WTI Diobral 74 Dolar AS Per Barel Dampak Inflasi China yang Mengecewakan
Reli minyak dunia di perdagangan pasar global terpantau turun sekitar 1,5 menyusul perilisan data inflasi China yang melambat
Penulis: Namira Yunia Lestanti
Editor: Hendra Gunawan
Laporan Wartawan Tribunnews.com Namira Yunia
TRIBUNNEWS.COM, WASHINGTON – Reli minyak dunia di perdagangan pasar global terpantau turun sekitar 1,5 menyusul perilisan data inflasi China yang melambat, menjadi sinyal bahwa permintaan konsumen di China pun masih rapuh selama September 2024.
Mengutip data yang dirilis Reuters, harga minyak mentah jenis Brent dilaporkan anjlok 1,26 dolar AS atau 1,59 persen ke level 77,78 dolar AS per barel pada perdagangan Senin (14/10/2024) pukul 00.20 GMT.
Penurunan serupa juga terjadi pada reli minyak mentah West Texas Intermediate AS yang anjlok sebesar 1,20 dolar AS atau 1,59 persen hingga harganya turun, dibanderol menjadi 74,36 dolar AS per barel.
Baca juga: Joe Biden Bilang AS Bahas Kemungkinan Serang Fasilitas Minyak Iran, Harga Minyak Langsung Naik
Adapun pelemahan harga ini terjadi buntut kekhawatiran investor terhadap permintaan minyak, di tengah tekanan inflasi yang rendah dan ketidakjelasan terkait stimulus ekonomi dari pemerintah China.
Berita negatif dari China mencuat pasca Biro Statistik Nasional China mengumumkan data IHK yang menjadi tolok ukur utama inflasi, turun dari Agustus 2024 sebesar 0,6 persen menjadi 0,4 persen (yoy) pada September 2024.
Perlambatan ekonomi ini tepat ketika pemerintah setempat berupaya untuk meningkatkan aktivitas domestik dan menopang sektor properti China yang sedang terpuruk.
Kondisi ini mengindikasikan adanya tekanan deflasi yang semakin meningkat di perekonomian China, yang menjadi sinyal bahwa permintaan domestik tetap lemah.
"Indeks harga konsumen dari Tiongkok menunjukkan tren deflasi yang berkelanjutan dan konsumsi domestik yang melemah meskipun ada pengumuman stimulus moneter paling agresif oleh otoritas pada bulan September," kata Priyanka Sachdeva, seorang analis di Phillip Nova.
Untuk menekan pembengkakan kerugian sebelumnya, Menteri Keuangan China Lan Fo an mengumumkan bahwa pemerintah telah menyetujui penerbitan utang tambahan guna membantu pemerintah daerah dalam mengatasi masalah utang, mereka agar dapat menghidupkan kembali ekonominya yang sedang lesu.
Namun, Fo an tidak merinci besaran paket stimulus yang akan diberikan. Sehingga memicu ketidakpastian dalam mengukur proyeksi pertumbuhan jangka pendek, atau hingga pertemuan legislatif China berikutnya yang diharapkan akan terlaksana dalam beberapa minggu mendatang.
Alasan tersebut yang membuat Investor mulai mempertanyakan efektivitas kebijakan stimulus ekonomi yang diharapkan dapat mengatasi perlambatan ini.