Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun Bisnis

Luhut Binsar Pandjaitan Rangkap Jabatan di Era Prabowo: Berpotensi Menjadi Beban Masa Depan

Posisi rangkap ini juga memunculkan beberapa kekhawatiran terkait transparansi, akuntabilitas, dan potensi konflik kepentingan.

Editor: Seno Tri Sulistiyono
zoom-in Luhut Binsar Pandjaitan Rangkap Jabatan di Era Prabowo: Berpotensi Menjadi Beban Masa Depan
YouTube Sekretariat Presiden
Mantan Menko Marves, Luhut Binsar Pandjaitan dilantik menjadi Ketua Dewan Ekonomi Nasional oleh Presiden Prabowo Subianto di Istana Negara, Jakarta pada Senin (21/10/2024). Pada hari ini, Selasa (22/10/2024), Luhut kembali dilantik menjadi Penasihat Khusus Presiden Bidang Digitalisasi dan Teknologi Pemerintahan. 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Posisi Luhut Binsar Pandjaitan (LBP)yang merangkap jabatan di pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka, menjadi sorotan berbagai pihak.

Luhut awalnya dilantik menjadi Ketua Dewan Ekonomi Nasional dan kini juga dipercaya Prabowo sebagai Penasihat Khusus Presiden Bidang Digitalisasi dan Teknologi Pemerintahan.

Ekonom Dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat mengatakan, sebagai figur sentral dalam pemerintahan Presiden Jokowi, Luhut memegang pengaruh yang sangat besar dalam berbagai kebijakan strategis. 

Namun, Achmad menyebut, posisi rangkap ini juga memunculkan beberapa kekhawatiran terkait transparansi, akuntabilitas, dan potensi konflik kepentingan.

Baca juga: Tugas Utusan Khusus dan Penasihat Khusus Presiden, Dijabat Raffi Ahmad hingga Luhut

"Munculnya Luhut sebagai tokoh sentral lagi di era Prabowo mengundang pertanyaan. Apakah tidak ada figur lain yang layak untuk mengambil alih peran-peran penting tersebut? Indonesia adalah negara dengan populasi besar dan sumber daya manusia yang kompeten di berbagai bidang," kata Achmad, Selasa (22/10/2024).

"Mengapa peran-peran kunci ini harus kembali dipegang oleh LBP yang sudah lama berada di pusat kekuasaan?," sambungnya. 

Ia menyebut, Setidaknya ada 3 alasan mengapa Luhut kembali ditugaskan oleh Prabowo Subianto untuk mengisi dua posisi kunci sekaligus.

  • Konsentrasi Kekuasaan pada Figur Berpengaruh
BERITA REKOMENDASI

Penunjukan Luhut dalam dua posisi strategis ini memperlihatkan tingginya kepercayaan pada satu individu yang dianggap memiliki pengaruh besar dalam kebijakan ekonomi dan investasi. 

Menurutnya, Luhut dilihat Prabowo terbukti mampu menarik investasi asing, terutama dari China, dan memainkan peran penting dalam hilirisasi nikel serta berbagai proyek infrastruktur. 

"Bagi Prabowo, mempertahankan Luhut dalam posisi kunci ini mungkin dipandang sebagai upaya untuk menjaga stabilitas dan kontinuitas kebijakan yang telah berjalan selama era Jokowi," ucapnya.

  • Pengalaman dan Koneksi Internasional Luhut

"Salah satu alasan utama Prabowo memilih Luhut adalah karena luasnya jaringan internasional yang telah ia bangun selama ini," katanya.

Ia melihat, Luhut memiliki hubungan dekat dengan investor global, termasuk dari China, Timur Tengah, dan Amerika Serikat, yang bisa mendukung visi Prabowo untuk menarik lebih banyak investasi asing. 

  • Kebutuhan akan "Pengendali" dalam Transisi Pemerintahan

Achmad menyampaikan, penugasan Luhut juga bisa dilihat sebagai langkah strategis untuk memastikan kelancaran transisi antara pemerintahan Jokowi dan Prabowo. 

Luhut, yang telah lama berperan dalam pemerintahan, dipandang sebagai figur stabil yang dapat memandu kebijakan dalam masa transisi, terutama di bidang teknologi dan digitalisasi yang semakin krusial bagi pembangunan ekonomi Indonesia di masa depan. 

"Prabowo mungkin melihat Luhut sebagai figur yang mampu menjaga kesinambungan kebijakan sekaligus mengintegrasikan teknologi modern dalam pemerintahan," tuturnya.

LBP Berpotensi Menjadi Beban Prabowo Masa Depan

Namun, penugasan LPB kembali sebenarnya menimbulkan 3  permasalahan laten bagi Prabowo dimasa depan. Diantaranya:

  • Pencerminan Pengabaian Regenerasi dan SDM Berkualitas Lainnya

Penunjukan Luhut dalam dua posisi kunci ini mengabaikan potensi sumber daya manusia (SDM) berkualitas lainnya yang bisa mengisi peran-peran strategis tersebut. 

Ia menyampaikan, di Indonesia, terdapat banyak profesional dan teknokrat yang berkompeten, namun keputusan untuk tetap memilih Luhut mencerminkan lemahnya komitmen pemerintah dalam mendorong regenerasi kepemimpinan. 

"Hal ini seolah menutup peluang bagi munculnya figur-figur baru yang dapat membawa ide dan inovasi segar dalam kebijakan ekonomi dan digitalisasi pemerintahan. Ketergantungan pada satu figur menciptakan kesan bahwa tidak ada SDM lain yang cukup layak, yang tentu saja bertentangan dengan prinsip meritokrasi," paparnya.

  • Risiko Konflik Kepentingan dan Minimnya Transparansi

Penunjukan kembali Luhut, yang dikenal memiliki jaringan bisnis keluarga yang luas dan terhubung dengan berbagai proyek besar, memperbesar risiko konflik kepentingan. 

Beberapa proyek besar seperti hilirisasi nikel dan infrastruktur sering dikritik karena kurangnya transparansi dalam pengelolaannya, serta dugaan keterlibatan perusahaan yang terafiliasi dengan Luhut dan keluarganya. 

Lebih lanjut Ia mengatakan, dalam posisi sebagai Penasihat Khusus Presiden Bidang Digitalisasi dan Teknologi Pemerintahan, potensi konflik kepentingan ini bisa semakin parah, mengingat pesatnya perkembangan teknologi dan keterlibatan sektor swasta.

"Kurangnya transparansi dalam proyek-proyek ini dapat semakin mengikis kepercayaan publik terhadap pemerintah," ucapnya.

  • Cerminan Sentralisasi Kekuasaan yang Berlebihan

Dengan menugaskan Luhut pada dua posisi strategis, pemerintahan Prabowo berisiko mengulangi pola sentralisasi kekuasaan yang berlebihan, seperti yang terjadi di era Jokowi. 

Konsentrasi kekuasaan pada satu individu tidak hanya menciptakan ketergantungan yang tinggi pada keputusan pribadi, tetapi juga dapat melemahkan tata kelola yang demokratis. 

Dengan kekuasaan yang terkonsentrasi di tangan Luhut, peran institusi dan pejabat lainnya berpotensi tereduksi, menciptakan ketidakseimbangan dalam pengambilan keputusan. 

Hal ini berbahaya bagi perkembangan kebijakan publik yang seharusnya dihasilkan melalui mekanisme yang lebih terbuka dan partisipatif

"Alasan ini mencerminkan bahwa penunjukan Luhut bukan hanya soal kapasitas individu, tetapi juga soal bagaimana tata kelola yang baik, transparansi, dan regenerasi kepemimpinan seharusnya diprioritaskan dalam pemerintahan," tuturnya.

Profil dan Biodata

Luhut pada era Presiden Joko Widodo (Jokowi) menjabat sebagai Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi.

Luhut lahir di Huta Namora, Silaen, Toba Samosir, Sumatra Utara, pada 28 September 1947.

Dikutip dari perpusnas.go.id, Luhut merupakan anak ke-1 dari lima bersaudara pasangan Bonar Pandjaitan dan Siti Frida Naiborhu.

Ia menikah dengan Devi Simatupang dan memiliki empat anak, yaitu: Paulina, David, Paulus, dan Kerri Pandjaitan.

Luhut menjadi Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Indonesia pada juli 2016 dan dipilih kembali pada masa Kabinet Indonesia Maju Jokowi-Maaruf amin priode 2019-2024.

Ia juga menjabat sebagai Kepala Staf Kepresidenan Republik Indonesia sejak 31 Desember 2014 hingga 2 September 2015.

Pada 12 Agustus 2015, ia ditunjuk oleh Presiden Joko Widodo menjadi Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan menggantikan Tedjo Edhy Purdijatno.

Dalam reshuffle Kabinet Kerja Jilid II pada 27 Juli 2016, dia diangkat menjadi Menteri Koordinator Kemaritiman menggantikan Rizal Ramli.

Pada 15 Agustus 2016, Jokowi mengambil langkah terkait polemik kepemilikan paspor Amerika Serikat (AS) Menteri ESDM Arcandra Tahar, sehingga Jokowi memberhentikan secara hormat Arcandra Tahar dari Menteri ESDM.

Jokowi kemudian menunjuk Luhut yang juga menjadi Menko Maritim, untuk menjadi pejabat sementara (Plt) Menteri ESDM.

Sebelum masuk dalam Kabinet Kerja, Luhut pernah menjabat sebagai Menteri Perindustrian dan Perdagangan Tahun 2000-2001 saat Abdurrahman Wahid menjabat sebagai Presiden RI 1999-2001.

Sebelum menjadi Menteri Perindustrian dan Perdagangan, ia menjabat Duta Besar Republik Indonesia untuk Singapura.

Karier Luhut Binsar Pandjaitan di Pemerintahan

Pada 1999, Presiden B.J. Habibie mengangkat Luhut menjadi Duta Besar Republik Indonesia untuk Republik Singapura di era krusial awal Reformasi.

Dalam tiga bulan pertama masa jabatannya, ia mampu memulihkan hubungan kedua negara ke tingkatan semula.

Lalu, pada masa Presiden Abdurrahman Wahid, Luhut ditarik dari Singapura sebelum masa baktinya berakhir.

Gus Dur mempercayakannya sebagai Menteri Perdagangan dan Industri Republik Indonesia walau dalam periode yang singkat (2000-2001), sesingkat usia pemerintahan Gus Dur.

Presiden di era pemerintahan selanjutnya pun bermaksud untuk mempercayakannya kembali sebagai Menteri, tetapi Luhut menolaknya karena ia menjaga etika terhadap Gus Dur.

Jabatan Pemerintahan Luhut Binsar Pandjaitan

• Duta Besar RI Berkuasa Penuh Untuk Singapura (1999-2000)

• Menteri Perindustrian dan Perdagangan RI pada Kabinet Persatuan Nasional (2000-2001)

• Pangkat Jenderal TNI (1999)

• Kepala Staf Kepresidenan RI (2014-2015)

• Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, Dan Keamanan RI (2015-2016)

• Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman (2016-2019)

• Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Kabinet Indonesia Maju (2019-2024)

 

 

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas