Elektrifikasi Bukan Satu-satunya Cara Menuju Dekarbonisasi
Indonesia dihadapkan dengan target Nationally Determined Contribution (NDC) pada 2030 sebelum beranjak mencapai visi NZE di 2060.
Penulis: Sanusi
Editor: Seno Tri Sulistiyono
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Tren elektrifikasi pada industri otomotif sering dianggap sebagai satu-satunya cara dalam upaya menciptakan udara bersih dan dekarbonisasi.
Namun, Cyrillus Harinowo, seorang bankir dan ahli moneter, memiliki pandangan berbeda. Keresahannya terhadap strategi dekarbonisasi Indonesia dituangkan dalam riset yang menghasilkan buku berjudul “Multi-pathway for Car Electrification”.
Bukan tanpa alasan Cyrillus yang memiliki pengalaman di bidang industri keuangan maupun perbankan itu melakukan riset dan menyusun buku soal otomotif, khususnya yang mengupas tren teknolgi otomotif terkini, seperti mobil listrik murni (Baterry Electric Vehicle/BEV) dan upaya mengikis karbon.
Melalui riset pustaka, kajian lapangan, dan penerapan teori, ia mendalami masalah industri otomotif terkini. Dalam buku yang hampir 300 halaman itu, ia berharap dapat memberikan penjelasan yang masuk akal dan berpotensi mendukung keberlanjutan ekonomi, industri, serta masa depan visi NZE (Net Zero Emissions) Indonesia.
Baca juga: 60 Persen Industri Siap Dekarbonisasi, Daya Saing Produk Domestik Bisa Meningkat
Salah satu peristiwa yang mendorong Cyrillus menyelami hal tersebut ialah kegemparan yang dibuat Perdana Menteri Inggris Boris Johnson pada 2020, yang menyatakan negaranya akan melarang penjualan mobil konvensional pada 2030 dan hanya membolehkan mobil listrik.
“Satu pernyataan Boris Johnson itu membuat saya berpikir bahwa hal tersebut merupakan sesuatu yang tidak akan bisa kembali lagi atau irreversible. Sementara masyarakat Indonesia sendiri belum sepenuhnya paham mengenai itu,” ungkap Cyrillus di sela acara diseminasi bukunya, di Jakarta, baru-baru ini.
Namun dari penelusuran lapangan, dorongan negara-negara Barat itu tampaknya menurut Cyrillus bisa diikuti jejaknya oleh Indonesia dengan berbagai prasyarat.
“Seperti contoh, kalau kita bicara mengenai penggunaan BEV saat ini, mobil listriknya mungkin zero emission. Namun ketika ingin men-charging baterainya, bauran energi dari sumber listriknya 80 persen berasal dari pembangkit listrik yang digerakan oleh bahan bakar fosil (fossil fuel). Berarti mobil listrik itu sebetulnya masih mengeluarkan emisi karbon 87 persen,” jelasnya.
Menyinggung isi buku, Cyrillus menyusun buku tersebut bersama Ika Maya Sari Khaidir yang juga profesional perbankan. Keduanya menulis sebanyak 26 bab yang menyoroti berbagai perkembangan teknologi mutakhir sektor otomotif dalam upaya mengikis karbon, juga mengulas perjalanan berbagai negara baik Eropa, Amerika, bahkan Asia Tenggara.
“Pada kenyataannya, upaya dekarbonisasi sektor otomotif memang serempak dilakukan secara global. Hanya saja, transisi menuju mobil listrik tidaklah mudah, terutama di negara berkembang seperti Indonesia. Infrastruktur pengisian baterai masih terbatas, sementara tuntutan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca semakin meningkat,” kata Cyrillus.
Sebagai respons, banyak produsen mobil global, termasuk yang beroperasi di Indonesia, mulai mengembangkan Hybrid Electric Vehicle (HEV) dan Plug-in Hybrid Electric Vehicle (PHEV) sebagai langkah awal sebelum beralih sepenuhnya ke mobil listrik, hingga mesin fleksibel. Langkah inipun dianggap sebagai solusi dari stagnasi dekarbonisasi jika selalu mengandalkan penetrasi mobil listrik. Terlebih dengan perang dagang sengit antara Barat versus China yang memicu pengembangan multiteknologi.
Cyrillus mengungkapkan Brazil merupakan contoh paling tepat buat Indonesia. Negeri Amerika Latin itu memiliki kesamaan dengan Indonesia dalam hal sebagai negara berkembang dengan jumlah penduduk yang besar.
Dalam upaya dekarbonisasi, Brazil telah mengadopsi penggunaan bioetanol sebagai bahan bakar kendaraan, yang dihasilkan dari industri gula mereka. Brazil adalah produsen bioetanol terbesar kedua di dunia setelah Amerika Serikat.
Penggunaan bioetanol di Brasil berpotensi mengurangi emisi karbon dari sektor transportasi, yang merupakan penyumbang utama emisi karbon di negara tersebut. Negara tersebut juga mengembangkan biodiesel sebagai bahan bakar alternatif ramah lingkungan untuk diesel, serta mobil flexy hybrid yang menggunakan bioetanol.
Dengan populasi besar dan kesadaran lingkungan yang meningkat menurut dia, Brasil memiliki potensi untuk berkembang dalam industri mobil listrik dan kendaraan ramah lingkungan lainnya.