GAPKI Dorong Terbentuknya Badan Khusus untuk Perbaiki Tata Kelola Industri Sawit
GAPKI berharap dukungan pemerintah dan DPR untuk membentuk satu badan khusus yang menangani industri kepala sawit.
Penulis: Rachmat Hidayat
Editor: Sanusi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) berharap dukungan pemerintah dan DPR untuk membentuk satu badan khusus yang menangani industri kepala sawit.
Badan khusus tersebut diharapkan bisa memperbaiki tata kelola industri kelapa sawit agar berkembang dengan baik dalam mendukung majunya perekonomian nasional.
Ketua Umum GAPKI Eddy Martono mengungkapkan saat ini banyak hal yang terjadi dan berkembang menjadi isu yang justru merusak keberadaan industri sawit. Padahal, industri sawit tergolong industri strategis yang banyak menyumbang bagi kemajuan ekonomi nasional.
Baca juga: Ombudsman: Produktivitas Sawit Turun, Potensi Kerugian Capai Rp111,6 Triliun
Data Kementerian Pertanian menyebut sektor kelapa sawit merupakan salah satu pilar utama perenomian nasional yang memiliki kontribusi besar pada energi terbarukan, pangan dan industri oleokimia. Sebagai salah satu produsen terbesar minyak sawit terbesar di dunia, Industri sawit Indonesia menyumbang sekitar 25 persen dari minyak nabati global dan sebanyak 59?ri total produksi minyak sawit global.
Adapun tahun 2023, jumlah produksi minyak sawit Indonesia sebanyak 47,08 juta ton. Dari jumlah tersebut, 10,2 juta ton minyak sawit untuk kebutuhan pangan dalam negeri, sementara 2,3 juta ton untuk keperluan industri oleokimia dan 10, 6 juta ton untuk biodiesel. Sisanya, sebanyak 23, 98 ton minyak sawit untuk pasar ekspor. Selain memberikan kontribusi yang besar untuk pendapatan nasional, industri sawit juga menyediakan lapangan kerja yang cukup besar, yakni 16 juta orang termasuk para petani kecil di seluruh Tanah Air.
Karena begitu strategisnya industri sawit, Eddy berharap sudah saatnya tata kelola industri tersebut diperbaiki secara menyeluruh. “Perlu dibuat badan khusus yang menangani sawit agar tata kelolanya lebih baik karena fokus di satu badan tersebut,’’ ungkap Eddy dalam keterangannya di Jakarta, Senin (18/11/2024).
Baca juga: Ekspor Sawit Nasional Rp20,9 Triliun, Hilirisasi untuk UMKM Perlu Dioptimalkan
Lebih jauh, Eddy kemudian menanggapi temuan yang dipublikasikan Koalisi Masyarakat Sipil (Proggres Kalteng, Walhi Kalteng, YMKL, TBBI, TuK Indonesia) yang menyebut adanya praktik buruk perkebunan sawit di Seruyan, Kalimantan Tengah (Kalteng). Koalisi tersebut menyebut, ada penanaman sawit di kawasan hutan yang merusak lingkungan, ada ketidakadilan dalam pembangunan kebun plasma hingga konflik lahan yang terus berulang akibat pengambilan lahan tanpa persetujuan warga di masa lalu.
Eddy menjelaskan, kondisi perkebunan sawit di Kalteng memang memiliki karakteristik tersendiri yang berbeda dengan persoalan yang dihadapi perkebunan sawit di provinsi lain. Persoalannya bermula pada tahun 2003, dimana ada surat dari Dirjen Planologi yang menyatakan bahwa areal perkebunan sawit di Kalteng yang disebut dalam laporan Koalisi Masyarakat Sipil tersebut bukan merupakan kawasan hutan. “Namun kemudian di tahun 2005 dibatalkan oleh Menteri Kehutanan dan aturan itu berlaku surut,’’ kata Eddy.
Hal inilah yang kemudian menyebabkan timbul persoalan di lahan perkebunan sawit yang ada di Kalteng. Pada awalnya, dinyatakan bahwa lahan tersebut bukan termasuk kawasan hutan, namun kemudian berubah menjadi kawasan hutan setelah perusahaan perkebunan sawit beroperasi di sana.
Mengenai masalah kelayakan upah pekerja di perusahaan perkebunan kelapa sawit yang ada di Kalimantan Tengah, Eddy mempersilakan untuk mengecek langsung ke lapangan. Jika memang ada pekerja perkebunan yang dibayar di bawah ketentuan yang berlaku, menurut Eddy, sudah pasti Dinas Tenaga Kerja setempat akan menindak perusahaan tersebut.
Untuk mencari solusi dari permasalahan yang dihadapi perkebunan sawit di Kalteng, selama ini GAPKI terus berkordinasi dengan pemerintah. Contohnya, kata Eddy, anggota GAPKI yang sudah tidak memungkinkan menjalankan kegiatan plasma dengan Kegiatan Usaha Produktif (KUP), mereka masih bisa menanam sawit dengan pembagian bibit sawit.
Baca juga: Indonesia Harus Jadi Penentu Harga Sawit Dunia, B50 Jadi Alat Bargaining
“Mereka pun didampingi dari mulai penanaman, perawatan, termasuk diberikan sarana dan prasarana produksi pertanian,” ujar Eddy.
Sementara itu, anggota Komisi IV DPR Firman Subagyo menekankan semua pihak yang terlibat di industri sawit harus tunduk dengan aturan hukum yang ada. Firman mengatakan, industri sawit sudah memberikan kontribusi yang besar kepada negara. “Walaupun demikian keterlibatan masarakat setempat tidak dapat diabaikan begitu saja,’’ ujarnya.
Firman juga menegaskan sebagai negara yang berdaulat, Indonesia juga jangan selalu tunduk pada tekanan NGO (Non Governmental Organization) yang berafiliasi dengan pihak asing atau NGO asing dengan dalih tertentu dan untuk kepentingan tertentu. “Aturan harus ditegakkan baik kepada pelaku usaha, masyarakat dan juga NGO, yang melanggar ya harus ditindak,’’ kata Firman.
Menanggapi temuan dari Koalisi Masyarakat Sipil, Firman mengatakan bahwa tugas DPR memang melakukan pengawasan. Tetapi harus didasari dengan bukti dan bukan karena ada desakan dari NGO saja. “Kami lebih mengedepankan dan mendengarkan aspirasi langsung dari masyarakat,” tandasnya. (*)