Pemerintah Turunkan Harga Tiket Pesawat, Pengamat: Jangan Sampai Abaikan Faktor Keselamatan
Dorongan penurunan harga tiket pesawat bagus karena sangat diharapkan oleh masyarakat menengah ke atas.
Penulis: Choirul Arifin
Editor: Seno Tri Sulistiyono
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Keputusan Pemerintah menurunkan harga tiket pesawat terbang di rute penerbangan domestik menjelang libur Natal dan Tahun Baru 2025 mendapat dukungan banyak pihak.
Penurunan harga tiket pesawat tersebut sudah sejak lama ditunggu masyarakat karena tarif yang berlaku saat ini dinilai terlalu kemahalan.
Sebagaimana diketahui, pemerintah berupaya menurunkan tarif biaya penerbangan dengan melakukan pemotongan tarif jasa kebandaraudaraan sebesar 50 persen, memberi diskon avtur pertamina sebesar 5.3 persen, dan penurunan Fuel Surcharge untuk mesin jet sebesar 8 persen. Upaya ini diharapkan mampu menekan harga tiket pesawat hingga 9.9 persen atau setara dengan Rp157.000 per tiket untuk lintasan Surabaya - Jakarta. Dan diharapkan dapat menghemat Rp 472.2 milliar di masa liburan NATARU pada 19 Desember 2024 hingga 3 Januari 2025.
Pengamat Transportasi, Bambang Haryo menilai langkah dorongan penurunan harga tiket pesawat tersebut bagus karena sangat diharapkan oleh masyarakat menengah ke atas.
Baca juga: Garuda Siap Beri Diskon Harga Tiket Pesawat Saat Natal dan Tahun Baru 2025
"Tetapi ada yang perlu dikaji bahwa tranportasi udara merupakan sarana transportasi berisiko tinggi, yang bila terjadi kegagalan akan berakibat fatal," kata pemerhati transportasi Bambang Haryo dalam keterangan tertulis, Sabtu, 30 November 2024.
Ia menegaskan, perusahaan penerbangan harus bisa menutup biaya keselamatan sesuai dengan standar keselamatan yang diatur oleh Organisasi Penerbangan Sipil Internasional atau ICAO (International Civil Aviation Organization).
Namun menurutnya, biaya keselamatan tersebut, saat ini masih belum bisa dilaksanakan maksimal oleh beberapa perusahaan penerbangan.
"Sehingga ada beberapa yang melakukan kanibal komponen pesawat untuk mengganti komponen yang aus. Termasuk juga standarisasi pelayanan kenyamanan minimum yang sudah diatur dalam Undang-undang No 1 tahun 2009, banyak tidak dapat dipenuhi oleh masakapai penerbangan," ungkapnya.
Bambang Haryo menyatakan, banyak pesawat yang diterbangkan oleh perusahaan maskapai yang tidak memenuhi standarisasi kenyamanan minimum.
Misalnya, pada kelas economy full service, tidak ada sarana hiburan televisi, toilet masih sering tidak ada air, air sickness tidak ada, kebersihan kabin yang sangat kurang dan seringnya terjadi keterlambatan.
"Itu semua menjadi standarisasi pelayanan minimum yang harus direalisasikan oleh airlines," ungkapnya lagi.
Anggota DPR RI periode 2024-2029 ini menjelaskan harga tiket pesawat pada tahun 2016 memang masih murah, yaitu sekitar Rp700 ribu untuk maskapai lowcost dan sekitar Rp900 ribu untuk economy full service.
"Tetapi, saat itu kurs mata uang per 1 Dollar Amerika adalah Rp11 ribu. Sementara, saat ini sudah mencapai Rp15.800 naik sekitar 40 persen. Sehingga masih wajar jika tarif saat ini mengalami kenaikan 40 persen atau menjadi Rp1 juta rupiah," urainya.
Apalagi pada saat peak season, dimana biasanya terjadi kenaikan semua harga tiket pesawat domestik maupun internasional. Hal itu, menurut dia sesuai dengan hukum pasar.
Biasanya kenaikan penerbangan domestik masih wajar, berkisar 30-50 persen dari harga tiket harga normal. Sementara untuk tiket internasional mencatat kenaikan sampai mencapai 300 persen bahkan lebih, dari harga normal.
"Kenaikan harga tiket mendekati masa liburan tersebut, sebenarnya bisa membantu pemerintah untuk penyebaran demand atau konsumen airline," ujarnya.
"Sehingga tidak akan terjadi penumpukan pengguna transportasi penerbangan di hari H peak season, sebagai akibat karena keterbatasan jumlah airline yang tidak bisa mengakomodir lebih banyak demand dari kapasitas angkutnya."
"Jadi bukan malah sebaliknya harga tiket dibuat murah saat mendekati dan hari H liburan," bebernya.
Ia menyatakan, kajian tentang airline ini juga perlu membahas terkait transportasi publik murah lanjutan yang harus disediakan oleh pemerintah.
Karena dengan adanya kebijakan pemindahan, banyak bandara yang belum mempunyai tranportasi publik murah lanjutan ke kota yangg dituju. Sehingga konektivitas transportasi daratnya harus menggunakan taksi yang harganya bisa lebih mahal dari penerbangannya.
Misalnya, bandara yang ada di Lombok, bila menggunakan taksi menuju ke Mataram tarifnya adalah Rp400 ribu rupiah dan tentunya penumpang pesawat harus menanggung biaya pulang pergi.
"Padahal, harga tiket pesawat dari Surabaya ke Lombok saat ini berkisar Rp500 ribu. Jadi di kasus ini bisa dikatakan harga tiket pesawat jauh lebih murah daripada konektivitas transportasi daratnya," kata Bambang Haryo lebih lanjut.
Yang lebih ironis lagi, lanjutnya, apabila harga tiket pesawat tesebut dibandingkan dengan tarif pengiriman barang melalui udara, yang memiliki minimal berat 10 kilogram, dengan tarif Rp170 ribu per kilogramnya, untuk rute Surabaya-Jakarta.
"Bisa dibayangkan, saya yang beratnya 100 kg, bila dianggap barang, tarif penerbangannya menjadi Rp1,7 juta. Nah ternyata harga manusia yang dianggap barang, yang diangkut penerbangan, jauh lebih mahal kan daripada harga tiket penumpang pesawat yang sudah diberikan fasilitas kenyamanan sesuai dengan standarisasi pelayanan minimum," kata dia.
"Jadi masuk akal kan bila kita katakan tiket pesawat di Indonesia masih relatif murah untuk menjamin keselamatan nyawa publik dan barang publik yang diangkut. Tidak pernah ada yang memprotes terkait tarif barang ini."
"Kesannya, barang dianggap lebih berharga dibandingkan nyawa manusia. Lagipula, masyarakat yang menggunakan pesawat terbang mayoritas adalah masyarakat menengah keatas. Bila tidak sanggup bisa menggunakan kereta api, angkutan bis, dan kapal untuk antar pulaunya," pungkasnya.