BEM SI Tolak Kenaikan PPN 12 Persen, Ancam Demo Serentak se-Indonesia
Satria Naufal meminta Prabowo membatalkan keputusan menaikkan PPN hingga 12 persen tersebut.
Editor: Hendra Gunawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Aliansi Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI) menyatakan sikap menolak kebijakan pemerintah di bawah Presiden Prabowo Subianto yang menaikkan pajak pertambahan nilai (PPN) 12 persen yang akan mulai berlaku 1 Januari 2025 nanti.
Koordinator Pusat BEM SI Satria Naufal meminta Prabowo membatalkan keputusan menaikkan PPN hingga 12 persen tersebut. Ia mendesak Prabowo agar sesuai dengan ucapannya yang ingin menyejahterakan rakyat.
"Jelas kami meminta untuk dikaji ulang hingga batal. Pidato Presiden Prabowo harus linear dengan kebijakannya dengan bicara kesejahteraan rakyat," kata Satria, Sabtu (21/12).
Baca juga: Yenny Wahid Tolak Kenaikan PPN 12 Persen: Apakah Ini Bijak?
Para aktivis mahasiswa itu, katanya, akan menggelar demonstrasi penolakan yang masif jika desakan penolakan ini tidak didengar pemerintah di bawah Prabowo-Gibran Rakabuming Raka itu. "Jika PPN 12 persen tidak dibatalkan dan turun, maka kami turun (demonstrasi) serentak di seluruh Indonesia," kata Satria.
Satria menjelaskan sikap para mahasiswa, terutama BEM SI, menolak keputusan pemerintahan Prabowo menaikkan PPN hingga 12 persen itu karena tak sesuai dengan keadaan ekonomi masyarakat saat ini. Ia menyinggung tingkat pendapatan masyarakat yang masih rendah dan tingkat pengangguran yang masih tinggi.
"Pertimbangannya sudah jelas, pada proses kebijakan PPN naik hingga 12 persen ini tidak diimbangi dengan pendapatan masyarakat, lapangan pekerjaan yang luas," ujar dia. "ini akan menurunkan daya beli masyarakat," sambung Satria.
Sebelumnya, rencana kenaikan PPN 12 persen ini mendapat penolakan dari masyarakat luas. Bahkan pada Kamis (19/12) petang lalu sejumlah kelompok elemen masyarakat gabungan--yang di dalamnya juga ada massa K-popers hingga gamers--melakukan aksi di seberang istana presiden, Jakarta Pusat. Mereka pun menyampaikan surat keberatan kenaikan PPN 12 persen itu ke Sekretariat Negara.
Selain itu ada juga petisi berjudul "Pemerintah, Segera Batalkan Kenaikan PPN!" Yang sudah tayang di situs change.org sejak 19 November 2024 itu sudah diteken lebih dari 113 ribu tanda tangan.
Ketua Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Anwar Abbas mendorong pemerintah mengkaji lebih jauh terkait penetapan kenaikan PPN 12 persen. Abbas menyatakan, sejatinya sebelum ditetapkan dan berlaku kenaikan PPN 12 persen itu, pemerintah harus memperhitungkan kondisi masyarakat.
Baca juga: Pemerintah Perpanjang Insentif PPN DTP untuk Sektor Properti
"Kenaikan PPN tersebut jelas akan mendorong bagi meningkatnya biaya perusahaan dan akan menyebabkan menurunnya daya beli masyarakat secara agregat," kata Abbas saat dimintai tanggapannya, Jumat (20/12).
Atas kondisi tersebut, Abbas menegaskan perlu adanya perhitungan lagi agar tidak berpengaruh pada perekonomian masyarakat. Pasalnya, jika merujuk pada data di Mei 2024 sendiri kata dia, angka daya beli masyarakat sudah turun.
"Sehingga kenaikan PPN tersebut sudah jelas akan menambah tergerusnya tingkat kesejahteraan masyarakat terutama mereka-mereka yang berada di lapis bawah dan menengah," kata dia.
Tak cukup di situ, kenaikan PPN 12 persen juga bisa berdampak pada pendapatan setiap perusahaan. Kata Abbas, bukan tidak mungkin nantinya tingkat penjualan dan produktivitas dari setiap perusahaan akan menurun karena mahalnya harga produksi. Imbasnya kata dia, akan terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK) lebih masif lagi nantinya.
"Di samping itu pihak perusahaan tentu juga akan terkena dampak berupa menurunnya tingkat penjualan dan profitabilitas sehingga tidak mustahil terjadi PHK dan hal demikian tentu saja tidak kita inginkan," tukas dia.
Desakan untuk membatalkan kenaikan PPN 12 persen juga disuarakan anggota DPR RI dari Fraksi PDIP, Rieke Diah Pitaloka. Ia mendesak Presiden Prabowo Subianto segra membatalkan rencana kenaikan PPN sebesar 12 persen pada 1 Januari 2025 mendatang. Menurut Rieke, keputusan itu diyakini akan berdampak besar kepada masyarakat.
Rieke menjelaskan bahwa penundaan kenaikan PPN 12 persen bertujuan menghindari pemutusan hubungan kerja (PHK) akan semakin meningkat. Selain itu, kenaikan PPN juga berpotensi akan menaikan harga kebutuhan pokok.
"Berdasarkan pertimbangan ekonomi dan moneter antara lain angka PHK meningkat, deflasi selama kurang lebih lima bulan berturut-turut yang harus diwaspadai berdampak pada krisis ekonomi dan kenaikan harga kebutuhan pokok," ujar Rieke kepada wartawan, Sabtu (21/12).
Rieke menjelaskan argumentasi pemerintah menaikkan PPN menjadi 12 persen sesuai pasal 7 UU Nomor 7 tahun 2021 tentang harmonisasi peraturan perpajakan dinilai juga tidak tepat. Dia meminta pemerintah harus mengambil secara utuh aturan tersebut.
Dalam Pasal 7 ayat (3) UU tersebut, tarif pajak pertambahan nilai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diubah menjadi paling rendah 5 persen dan paling tinggi 15% setelah berkonsultasi dengan alar kelengkapan DPR RI.
Dalam UU itu juga dijelaskan, Menteri Keuangan RI diberikan kewenangan menentukan besaran PPN perkembangan ekonomi dan moneter serta perkembangan harga kebutuhan pokok setiap tahunnya.
"Saya sangat mendukung Presiden Prabowo menunda atau bahkan membatalkan rencana kenaikan PPN 12%," jelasnya.
Sebagai gantinya, Rieke mengusulkan pemerintah menerapkan dengan tegas self assessment monitoring system dalam tata kelola perpajakan. Di antaranya, perpajakan selain menjadi pendapatan utama negara, berfungsi sebagai instrumen pemberantasan korupsi, sekaligus sebagai basis perumusan strategi pelunasan utang negara.
Selain itu, terwujudnya satu data pajak Indonesia, agar negara mampu menguji SPT wajib pajak, akurasi pemetaan, perencanaan penerimaan dan pengeluaran negara secara komprehensif, termasuk pendapatan yang legal maupun ilegal.
"Dan memastikan seluruh transaksi keuangan dan non- keuangan wajib pajak, wajib dilaporkan secara lengkap dan transparan," jelasnya.
Di sisi lain, Rieke juga meminta dana pembangunan infrastruktur wajib dengan skala prioritas lyang memengaruhi hajat hidup orang banyak.
"Inovasi dan kreativitas mencari sumber anggaran negara yang tidak membebani pajak rakyat dan membahayakan keselamatan negara, termasuk segera menghimpun dan mengkalkulasikan dana kasus-kasus korupsi, serta segera dikembalikan ke kas negara," pungkasnya.
Sebelumnya Menteri Keuangan Sri Mulyani mengklaim kebijakan kenaikan PPN 12 persen itu bersifat selektif dan hanya menyasar barang dan jasa kategori mewah atau premium.
Barang dan jasa kategori mewah atau premium itu seperti kelompok makanan berharga premium, layanan rumah sakit kelas VIP, dan pendidikan berstandar internasional yang berbiaya mahal.(tribun network/igm/riz/den/dod)