Kajian Peneliti Unibraw Soal Tarif Cukai Tembakau Viral di Twitter, Konsumen Pilih Beli Rokok Murah
PPKE-FEB Universitas Brawijaya Malang baru-baru ini membuat kajian tentang kenaikan tarif cukai hasil tembakau.
Editor: Choirul Arifin
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pusat Penelitian Kebijakan Ekonomi Fakultas Ekonomi Bisnis Universitas Brawijaya (PPKE-FEB UB) baru-baru ini membuat kajian tentang kenaikan tarif cukai hasil tembakau.
Menurut mereka, keputusan pemerintah menaikkan tarif cukai atas produk tersebut tidak efektif jika tujuannya untuk menjaga keseimbangan kebijakan industri hasil tembakau (IHT).
Alasannya, ada pola pergeseran pada konsumen rokok untuk mengonsumsi rokok yang lebih murah ketika harga rokok meningkat.
Hasil kajian tersebut menjadi viral di Twitter (X) karena menjadi pusat perhatian warganet dan memunculkan tagar #CukaiRokok.
Tagar ini sempatmenduduki trending no. 1 dalam platform twitter (X).
Di rentang 24 jam terakhir, dari tanggal 24 hingga 25 Desember 2024, terdapat 4.220 unggahan yang melibatkan 2.106 pengguna, menciptakan potensi jangkauan lebih dari 5 juta impresi.
Netizen mengungkapkan pendapat mereka melalui tagar yang viral tersebut hingga menghasilkan diskusi yang menarik.
Para pengguna platform tersebut saling berinteraksi untuk berbagi pendapat dan pandangan mereka. Menariknya, tak sedikit netizen yang menyambut baik hasil temuan tersebut.
Peneliti senior PPKE-FEB UB Joko Budi Santoso mengatakan, kajian tim peneliti PPKE akan dapat memberikan insight serta dampak yang luas dalam menambah pandangan masyarakat terkait dampak kenaikan tarif cukai yang terjadi selama ini.
Baca juga: Tak Terima Disebut Muat Rokok Ilegal, Sopir Truk Asal Pamekasan Madura Minta Ganti Rugi ke Bea Cukai
Menurut dia, kenaikan tarif cukai rokok menunjukkan adanya efek substitusi, dimana konsumen yang sensitif terhadap harga cenderung beralih dari rokok golongan 1 (rokok mahal) ke rokok golongan 2 dan 3 yang lebih murah dengan cukai lebih rendah.
"Fenomena ini terlihat jelas ketika tarif cukai naik, harga rokok golongan 1 meningkat tajam, tetapi konsumsi total rokok tetap stabil pada 32,5 persen hingga tarif cukai mencapai 25 persen," kata dia, Kamis (26/12/2024).
"Kebijakan kenaikan tarif cukai tidak efektif dalam menurunkan konsumsi rokok secara keseluruhan, karena hanya terjadi pergeseran konsumsi dari produk mahal ke produk yang lebih murah,” lanjutnya.
Baca juga: Penerimaan Cukai hingga Oktober 2024 Baru 72,2 Persen dari Target APBN 2024
Hasil kajian PPKE-FEB UB menyatakan, kebijakan kenaikan tarif cukai, baik dengan atau tanpa diikuti kenaikan harga rokok, tidak efektif dalam mengurangi konsumsi rokok secara signifikan.
Efek substitusi menjadi penghambat utama, dimana konsumen beralih ke produk yang lebih murah, sementara peredaran rokok ilegal meningkat.