Industri Tekstil akan Lakukan PHK Lagi: Pemerintah Sadar Ada Kelesuan Tapi Ogah Selesaikan Masalah
Pemerintah sudah menyadari ada pelemahan di industri TPT, namun tidak kunjung mengambil keputusan yang melindungi industri ini.
Editor: Seno Tri Sulistiyono
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Badai pemutusan hubungan kerja (PHK) di industri tekstil bakal berlanjut pada tahun ini, jika pemerintah tidak menekan maraknya produk impor ilegal dan membuat kebijakan yang tepat.
Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat dan Benang dan Filament Indonesia (APSyFI) Redma Gita Wiraswasta, mengatakan, sebenarnya pelemahan industri tekstil dan produk tekstil (TPT) telah dirasakan sejak kuartal III 2022 yang berujung pemutusan hubungan kerja (PHK) di tahun 2023.
Menurutnya, sejak awal pemerintah sudah menyadari ada pelemahan di industri TPT, namun tidak kunjung mengambil keputusan yang melindungi industri ini.
"Proyeksi bisnis tahun 2025 sangat tergantung dari tindakan Pemerintah. Pemerintah sudah aware dengan kelesuan industri TPT namun tetap tidak mau selesaikan masalah dan berputar mencari alasan. Pada 2024, banyak pabrik sudah menutup kerjanya dan PHK terjadi di mana-mana," ujar Redma dikutip dari Kontan, Kamis (2/1/2025).
Baca juga: Catatan Kritis PKS terhadap Isu Ketenagakerjaan 2024: Implementasi UU Ciptaker & Dampak PHK Massal
Ia menyebut, jika pemerintah tidak mengendalikan serbuan barang impor dan memberantas importasi ilegal, industri TPT masih akan melanjutkan tren PHK dan penutupan pabrik di tahun 2025.
Redma menyampaikan, beban yang ditopang oleh industri TPT akan semakin berat dengan kenaikan PPN 12 persen, lalu kondisi geopolitik yang berimbas pada perang dagang yang mengakibatkan banjir produk China memenuhi pasar dalam negeri.
Melihat hal ini, Redma juga memproyeksi bahwa daya beli masyarakat masih belum bangkit. Sebaliknya, berpotensi akan semakin melemah.
"Dengan adanya kenaikan PPN 12% plus devisa outflow yang semakin deras dari transaksi impor ilegal, daya beli masyarakat akan terus melemah (tahun 2025)," imbuhnya.
Redma berkata, jika pemerintah memang serius untuk menaikkan pertumbuhan ekonomi hingga 8%, sebaiknya perlu memberikan kekuatan untuk industri manufaktur dan pertanian, sebab kedua industri ini menghadapi persaingan dengan barang impor ilegal.
"Daya ungkit sektor industri manufaktur padat karya dan pertanian sangat besar, selain bagi pertumbuhan juga bagi penyerapan tenaga kerja. Jika pemerintah mau mengendalikan impor dan memberantas importasi ilegal, maka industri TPT pun ikut terkatrol. Kegiatan ekonomi yang digerakkan oleh konsumsi barang impor ilegal, hanya akan mencatat pertumbuhan ekonomi palsu," pungkasnya. (Amalia Nur Fitri/Kontan)
Artikel ini telah tayang di Kontan dengan judul Industri Tekstil Diproyeksi Masih Terpuruk pada 2025 Jika Pemerintah Tak Lakukan Ini
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.