Ketua Pusat Krisis UI Sebut Panic Buying Bukan Gejala yang Khas Indonesia
Ketua Pusat Krisis Universitas Indonesia (UI), Dicky Pelupessy mengatakan panic buying tidak hanya terjadi di Indonesia saja.
Penulis: Endra Kurniawan
Editor: Muhammad Renald Shiftanto
TRIBUNNEWS.COM - Ketua Pusat Krisis Universitas Indonesia (UI), Dicky Pelupessy mengatakan panic buying tidak hanya terjadi di Indonesia saja.
Melainkan juga negara-negara lain yang tidak luput dari ancaman virus corona baru (COVID 19).
“Kita bisa melihat bahwa gejala ini mengiringi situasi hari ini ini wabah virus corona di Indonesia dan negara lain"
"Artinya panic buying bukan satu gejala yang unik khas Indonesia, tetapi negara-nagara lain juga mengalaminya," kata Dicky dikutip dari channel YouTube BNPB, Minggu (22/3/2020).
Sedangkan panic buying dapat diartikan sebagai perilaku masyarakat yang membeli barang dalam jumlah besar.
Hal ini bisa didasari dengan adanya rasa takut berlebihkan serta muncul secara tiba tiba.
Atau dalam pengertian lain sebut situasi kedaruratan.
Baca: Kondisi Terkini Pangeran Albert Setelah Dinyatakan Positif Covid-19
"Akibat mengantisipasi suatu kejadian bencana atau setelah bencana terjadi, atau untuk mengantisipasi kenaikan atau penurunan harga barang atau komoditas tertentu," lanjut Dicky.
Sehingga pada akhirnya keberadaan komoditas tersebut semakin langka dan membuat harganya melambung tinggi.
Pada umumnya barang-barang yang menjadi incaran masyarakat untuk diborong merupakan bahan pokok seperti beras.
Namun, berdasarkan pengamatan yang dilakukan Dicky ada ke khasan yang dimiliki masyarakat Indonesia saat panic buying terjadi.
"Kita juga melihat situasi masyarakat secara berbondong-bondong berusaha mencari dan membeli bahan dan rempah-rempah seperi jahe, kunyit dan sebagainya," tandas pria yang juga menjabat sebagai Wasekjen Ikatan Ahli Kebencanaan Indonesia (IABI) ini.
Baca: Kalau Ada yang Manfaatkan Wabah Covid-19 untuk Korupsi, KPK Ingatkan Hukuman Mati Menanti
Panic Buying dalam kacamata ilmu psikologi
Disiplin ilmu psikologi memiliki cara dalam menjelaskan penyebab kenapa panic buying dapat di alami masyarakat.
Dicky memandang merebaknya virus corona di sejumlah wilayah Indonesia membuat masyarakat kehilangan perasaan untuk mengendalikan diri atau disebut dengan self of control.
Perasaan tersebut berasal dari persepsi masyarakat terhadap virus yang pertama kali di temukan di Kota Wuhan, China ini.
"Sebagaian besar itu mempersepsikan virus corona sebagai musuh tidak terlihat," imbuh Dicky.
"Bukan semata virus corona tidak dapat dilihat secara kasat mata, tapi juga infeksinya bisa terjadi pada siapa saja, kapan saja dan dimana saja," lanjutnya.
Akhirnya dengan akumulasi perasaan dan persepsi tersebut yang mendorong masyarakat untuk panik dan membeli barang-barang secara berlebih seperti hand sanitizer dan masker.
Dengan panic buying secara psikologis mampu mengembalikan perasan pengendalian diri.
Dicky menegaskan, masifnya informasi juga berperan mendorong masyarakat untuk mengalami panic buying.
Baca: Bisakah Virus Corona Menular dari Orang yang Tidak Memiliki Gejala? Begini Penjelasan WHO
"Perlu kita sadari karena informasi yang keliru dan tidak akurat serta tidak menyakinkan"
"Seperti misalnya, apakah stok barang cukup, apakah tempat yang menjual barang komoditas buka atau tidak," tuturnya.
Penjelasan kedua penyebab panic buying juga dapat didorong oleh perasaan manusia yang teringat dengan kematian.
Isitlah dalam ilmu psikologinya disebut mortality slayer.
"Sebuah kisah terhadap peristiwa seperi virus corona mengingatkan terhadap kerentanan tersebut (kematian, red), Makan orang bisa menjadi inklusif, termasuk inklusif dalam membeli barang,"
Terakhir Dicky mengatakan panic buying juga dapat tercipta akibat tekanan sesorang oleh teman sebaya dan lingkungan pergaulan.
Fokus ini tidak lepas kodrat manusia sebagai makluk sosial.
"Sehingga kita menjadikan apa yang dilakukan prang lain sebagai dasar penilaian atas tindakan kita" tuturnya.
"Kita mengandalkan orang lain untuk bertahan hidup, Dan sering kali kita bersedia mengkompromikan penilaian kita yang sebetulnya lebih baik"
"Sedangkan intinya ketika orang lain menumpuk barang dan membeli secara berlebihan. Cenderung kita ikut terdorong melakukan hal itu," tutup Dicky.
(Tribunnews.com/Endra Kurnaiawan)
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.